15 November 2013

Sekerat Ideologi



Saya mengamini obrolan dan celetukan di warung kopi tadi malam. Padahal hanya obrolan di kedai kopi yang baru buka di ujung jalan. Anggap saja; grand opening layaknya toko-toko besar di mal atau cafe selebritas yang banyak tersebar di kota-kota. Harga promosi, secangkir hanya 2 ribu rupiah. Pasti harga kelas bawah, tapi soal citarasa boleh dibandingkan dengan taste kopi cafe dan hotel berbintang.

Menikmati kopi tentu dengan mengumbar obrolan. Ya soal serius, setengah serius sampai hal-hal yang coba diseriusi sekalipun bermuara pada bualan-bualan tak jelas. "Guwe ngarep nih negara gak bangkrut mas bro", kata seorang teman yang memulai pembicaraan dengan tema negara. Padahal sejak awal kita hanya bicara datar tentang kabar teman-teman yang lain, tentang hiruk pikuk kehidupan di sekitar kita saja. "Lah koq bangkrut bang?", tanya saya pada teman itu. Menurutnya, negara ini sudah benar-benar tak terkendali, auto pilot dan tak satupun pemimpin yang sanggup memberi penggambaran kemana arah perjalanan bangsa ini. "Coba sekarang lihat dan cermati, negara yang namanyat Indonesia ini hanya berisi dengan cekcok politisi, polisinya ikut-ikutan gak jelas, artisnya ngelawak yang terlanjur gak lucu tapi tetap ditertawakan, pejabatnya korupsi, anak-anak mudanya lebih memilih kehidupan yang western style, hukumnya runtuh tanpa secuilpun kepercayaan dari rakyat, dan terlampau banyak untuk kita urai dan sebutkan satu per satu", jelas teman yang sudah memesan secangkir kopi untuk kedua kalinya. Awalnya saya tertarikm tapi lebih tertarik dengan gaya ngopinya yang pakai nambah itu.

"Weh, kopinya sudah nambah lagi bang?," tanya saya yang langsung diberi anggukan kepala oleh teman saya itu. Kita ngopi saja sudah jadi kebiasaan, nyandu ujungnya minum secangkirpun kurang. Jadi menurut saya, sesuatu itu bila sudah menjadi menu wajib, selalu terasa kurang. Begitupun soal-soal yang sekarang gentanyangan di benak kita. Soal korupsi misalnya, ya pasti gak mau sekali, bila perlu berkali-kali dan tak pernah ada puasnya. Saya hanya menganalogikan secara sederhana soal ngopi dan korupsi. Soal ngopi dan menjaga kewibawaan hukum. Soal ngopi dengan tradisi kawin-cerai selebriti atau ngopi dengan kebiasaan suap atau pungli di sekitar kita itu.

"Wah, ente sudah menemukan benang merahnya tentang alur pembicaraan kita mas bro", kata teman yang lain. Semakin hiruk pikuk saja obrolan tadi malam. "Lalu solusi yang paling jitu, atau setidaknya ideal mengatasi problem bangsa ini apa?", tanyanya. Manusia hidup dibentengi oleh keimanan, tapi agama menjadi komoditas prilaku yang menyimpang dari pemeluknya. Agama bisa menjadi benteng mencegah perbuatan tercela. Tapi sayangnya, manusianya terlanjur menjadikan agama sebagai dogma-dogma tertulis tanpa diiukti dengan perlakuan yang sebangun dengan nilai ajaran agama itu sendiri. 

Pada akhirnya, kita lelah sendiri mempersoalkan penyakit negeri ini. Namun saya lalu teringat dengan satu kata: ideologi!. Ya, ideologi hidup di benak kita sebagai prasyarat bahwa kita memegang teguh prinsip-prinsip kehidupan. "Jangan bawa agama, nanti kita dimusuhi banyak orang yang menjelmakan agama sebagai legalitas kebenaran di hadapan banyak orang, sekalipun hanya jargon-jargon artifisial", kata saya seraya mengingatkan teman-teman tentang isu sensitif jika sudah membawa label agama. Jadi kesimpulannya, saya lebih bersikukuh dengan nafas ideologi, sekalipun tersisa hanya sekerat. Ya, sekerat ideologi yang akan menghantarkan saya untuk tetap tak terbuai dengan segala jenis hedonisme. 

Ideologi itu muaranya keberpihakkan. Seperti kita memilih kedai kopi kecil dan sederhana ketimbang ngopi di etalase cafe yang mewah. Artinya kita berpihak pada pedagang kecil ketimbang pengusaha dan pemodal yang besar. Ideologi memang tak seampuh agama. Dan biar saja, tiap orang punya ideologi masing-masing. Tapi setidaknya, ideolog tak akan menggunakan khotbah-khotbah ideologi seperti mereka yang selama ini menjadikan agama sebagai alat propaganda pembenaran semata.# hen eska

0 komentar:

Posting Komentar