15 November 2013

Robohnya Konstitusi Kita



Pasca kasus tertangkaptangannya mantan ketua Mahkamah Konstitusi oleh KPK, Akil Mochtar karena kasus suap dalam sengketa pilkada, tingkat kepercayaan publik pada lembaga yang sejatinya diharapkan menjadi benteng terakhir bagi warga negara memperoleh keadilan: hancur lebur bak terjun bebas!. Lihat saja, gedung MK yang dipimpin ketua barunya Hamdan Zoelva saat menangani perkara gugatan pilkada Maluku, sekelompok orang mempertontonkan kemarahannya sebagai ketidakpuasan atas putusan sidang. Ini peristiwa tragis sejak MK dilahirkan 10 tahun yang lalu.

Aksi anarkis terjadi setelah putusan sengketa pilkada atau PHPU (perselisihan hasil pemilihan umum) kepala daerah dan wakil kepala daeah Provinsi Maluku tahun 2013 dengan nomor perkara 94/PHPU.D-XI/2013 yang didaftarkan oleh pasangan Adrian Koedoeboen-M. Daud Sangadji. Kontan ruang sidang menjadi arena caci maki dari orang-orang yang tak puas atas amar putusan pertama dari perkara ini.

Begitu rendahnya MK dimata rakyat?. Ini menjadi tamparan sekaligus indikasi kuat bahwa MK bukan lagi tempat yang layak untuk mencari keadilan konstitusi. Bisa dimaklumi ketika rakyat mengumbar kemarahannya, karena kasus Akil Mochtar adalah episentrum dari delegitimasi publik kepada MK itu sendiri.

Konstitusi kita cukup gamblang mengatur bahwa negara didasarkan pada hukum, bukan didasarkan pada kekuasaan apalagi berdiri dibalik kepentingan-kepentingan pribadi yang berorientasi pada nilai-nilai ekonomis. Tapi Akil Mochtar membawa perkara yang ditangani MK tak ubahnya mesin ATM untuk memperkaya diri. Suap dan uang seolah menjadi stigma permanen untuk MK. Dengan kondisi seperti itu, wajar jika publik tak mempercayai setiap putusan perkara yang dihasilkan. Artinya, siapapun pihak yang tak puas dan tak diuntungkan; bisa marah dan membabibuta menolaknya.

Mental korup sudah membuat MK roboh, hukum terjungkal dan konstitusi bagaikan selembar cek kosong!.# (hen eska)

0 komentar:

Posting Komentar