23 November 2013

Awas Vandalisme Politik



Suhu politik menuju pemilu 2014 makin terasa panas. Di prediksikan, awal tahun 2014 nanti, suhu itu makin memuncak dengan berbagai bentuk prilaku politik yang hadir ditengah masyarakat. Fase pertama, tentu saja soal pemilu legislatif. Dititik ini, banyak diasumsikan sebagai -kudakuda politik- menuju pertarungan yang lebih tinggi, yaitu pilpres. 
Pada perspektif pemilihan legislatif, secara implisit memunculkan dua zona pertarungan. Pertama adalah zona internal dan yang kedua merupakan zona eksternal. Di zona pertama, caleg-caleg sudah harus melawan -kawan- sendiri sesama partai di daerah pemilihan (dapil) yang sama. Lalu untuk zona eksternal, pertarungan meluas menjadi antar partai di setiap daerah pemilihan (dapil).

Menariknya, level pertarungan zona internal justru lebih menyedot energi para caleg ketimbang zona eksternal. Mengapa? karena persaingan internal memuat ego-ego politik personal. Hal ini dipicu dengan sistem pemilu yang menempatkan suara terbanyak sebagai pemilik sah kuota kursi parlemen atau legislatif di semua tingkatan. Tak heran, dinamika yang terjadi adalah persaingan terbuka sesama caleg dari partai yang sama pula.

Hitung-hitungan politiknya memang demikian. Caleg harus dapat mengamankan dirinya sendiri sejak di level internal. Persinggungan kerap terjadi dan kecenderungan untuk melakukan kreasi dan inovasi politik yang saling mengungguli sesama caleg satu partai dengan dapil yang sama lebih nyata terlihat.

Masyarakat tak lagi heran saat caleag sesama partai di dapil yang sama saling -balapan- merebut simpati. Metodenya beragam. Mulai dari pemasangan atribut sosialisasi sampai pada gelaran kegiatan yang menghimpun masyarakat. Kadang, adakalanya saling mendiskreditkan, saling klaim dukungan dan saling melemahkan satu dengan yang lain. Pendek kata, inilah potret ego politik personal yang ada.

Vandalisme adalah penghacuran. Mungkin terbaca ekstrem. Namun jika dicermati, sesungguhnya telah berlangsung praktek politik vandalisme antar sesama caleg di satu partai dengan dapil yang sama. Tentu ini jauh dari politik penuh fatsun dan menjaga moralitas politik itu sendiri. Namun, pembelajaran-pembelajaran politik dari pemilu ke pemilu belum mampu menepiskan ego politik personal semacam ini. Perlu waktu yang panjang untuk mendewasakan politisi kita.

Dinamika politik yang diwarnai dengan aksi-aksi vandalisme tentu mengarah pada pola agitatif, provokatif dan bermuara pada destruktif. Tak ada nilai-nilai pemberdayaan dan pencerahan politik kepada masyarakat. Pemicunya beragam tapi titik isu vandalisme tentu saja soal like and dislike.

Jika pilihan vandalisme politik adalah sebuah perangkat memenangkan pemilu, maka bisa dipastikan akan merusak pertalian sosial yang ada di tengah masyarakat kita. Lebih jauh akan menghancurkan pula sistem politik yang kita anut dalam bernegara. Lalu apa tujuan pemilu dan kehendak kita berbangsa jika kemudian tak memulai dengan kesantunan politik, menjaga moralitas politik dengan aksi-aksi yang mencerahkan? #hen eska





0 komentar:

Posting Komentar