1 November 2010

Memelihara Narasi Demokrasi

Sekarang ini banyak orang berpendapat, bahwa demokrasi adalah melulu soal politik. Mereka yang berbicara demokrasi biasanya adalah para politikus ataupun akademisi. Gaya bahasa yang digunakan di dalam percakapan tentang demokrasi pun cenderung tidak mendarat, sehingga banyak orang di luar dunia politik ataupun akademik merasa asing mendengarnya. Demokrasi menjadi slogan yang terdengar elitis di telinga rakyat biasa pada umumnya.
Ironis ketika melihat seorang penjual rokok di depan kantor universitas ataupun LSM yang pro demokrasi dan seringkali membuat pernyataan keras atas nama demokrasi tidak mengenal apa arti demokrasi, dan bahkan arti dari hak asasi manusia! Cobalah ajak diskusi penjaga keamanan di gedung MPR/DPR atau di depan universitas-universitas pro demokrasi, apakah mereka mengerti arti demokrasi, ataupun hak asasi manusia? Dapat juga disimpulkan bahwa perjuangan demokrasi masih bersifat eksklusif.Perjuangan untuk mendirikan pemerintahan demokratis yang juga berdasar pada kultur demokratis hanya dilakukan oleh sekelompok elit politik ataupun elit intelektual saja.
Mengapa ini terjadi? Dan bagaimana supaya eksklusifitas demokrasi ini bisa dikurangi atau bahkan dilenyapkan?

Narasi Demokrasi
Narasi adalah cerita. Setiap orang hidup dengan cerita. Sedari kecil mereka mendengar cerita, baik dalam bentuk dongeng, ajaran moral, maupun ajaran agama. Setiap orang hidup dengan mendengarkan dan menuturkan cerita. Di dalam penelitian ilmu-ilmu sosial, narasi atau cerita dianggap sebagai pembentuk identitas dan jati diri.
Maka jika anda ingin memahami orang dengan latar belakang tertentu secara mendalam, telitilah narasi macam apa yang ia dengarkan sedari kecil, dan narasi macam apakah yang ia tuturkan di dalam kesehariannya (Webster dan Mertova). Pada masa kecil seseorang, narasi biasanya berbentuk ajaran moral dari orang tua ataupun dari agama. Namun pada saat orang dewasa, narasi lebih berbentuk berita, analisis saintifik, dan bahkan gosip. Bangsa yang keseharian warganya dipenuhi dengan gosip dan mistik tentu saja tidak akan mampu menciptakan hal-hal baru yang bisa memperbaiki keadaan.
Penyebab utama wacana dan perjuangan demokrasi tampak ekslusif adalah, karena narasi tentang demokrasi belum menjadi bagian dari cerita ataupun tutur warga negara Indonesia. Demokrasi masih bersifat parsial, dan belum menjadi budaya. Maka solusi untuk memperkuat perjuangan menuju masyarakat demokratis adalah dengan mendengungkan terus menerus isu demokrasi tidak hanya di tataran politik, tetapi juga di dalam praktek sehari-hari kehidupan rakyat pada umumnya. Demokrasi harus menjadi bagian dari udara yang dihirup oleh bangsa Indonesia.

Mengapa Harus Demokrasi?
Narasi demokrasi adalah cerita tentang kekuasaan yang harus diikuti dengan tanggung jawab moral di dalam segala bidangnya. Mengapa demokrasi harus menjadi bagian dari percakapan sehari-hari bangsa Indonesia? Yang pertama, bentuk konkret cara berpikir demokratis adalah kemampuan untuk menyelesaikan masalah melalui dialog rasional yang dilandasi nilai-nilai kejujuran dan kebenaran. Jika setiap masalah bisa diselesaikan dengan jalan demokratis, maka perdamaian abadi pun akan tercipta.
Yang kedua, demokrasi adalah soal pertanggungjawaban. Di dalam iklim demokratis, tidak ada keputusan ataupun pernyataan yang bisa diterima begitu saja tanpa diuji di dalam suatu perdebatan rasional(Habermas). Iklim demokratis menjamin bahwa penguasa ataupun pemimpin bekerja dengan mengacusepenuhnya pada kepentingan yang dikuasai ataupun yang dipimpinnya. Setiap kebijakan yang ia buat haruslah menempuh proses debat rasional dan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
Memang sekilas proses ini terlihat tidak efisien. Namun nilai utama demokrasi adalah legitimasi dan keabsahan, dan bukan efisiensi. Menilai demokrasi dengan kriteria efisiensi itu bagaikan menilai proses belajar seorang anak melulu dari uang ataupun sumber daya yang dikeluarkan. Demokrasi adalah proses belajar yang membutuhkan sumber daya yang bersifat multidimensional. Maka kriteria untuk mengukurnya pun harus memiliki banyak dimensi.

Memelihara Narasi
Iklim demokratis yang nyata bisa tercipta, jika setiap harinya mayoritas warga negara Indonesia hidup dengan mendengarkan dan bertutur soal kehidupan sehari-hari secara demokratis. Dalam arti ini demokrasi harus menjadi narasi atau cerita sehari-hari rakyat Indonesia. Demokrasi harus meresap di dalam keseharian. Ada dua cara untuk memfamiliarkan masyarakat dengan wacana demokrasi, yakni melaluipendidikan, baik formal ataupun informal, dan melalui media massa, terutama media massa elektronik yang semakin populer dewasa ini.
Demokrasi termasuk teori dan aplikasi haruslah diperkenalkan di sekolah sejak tahap awal pendidikan, baik di sekolah maupun di keluarga. Anak diajak untuk berdiskusi di dalam pengambilan keputusan mulai dari persoalan-persoalan paling sederhana, sampai yang rumit. Di sekolah anak diajak untuk berani berpendapat dan bertindak sesuai dengan keyakinannya sendiri, lalu siap berdiskusi dan mendengarkan pihak lain yang mungkin berbeda pendapat dengan dia.
Media massa terutama media massa elektronik, seperti TV dan radio yang sangat digemari masyarakat luas, haruslah mulai memperkenalkan konsep-konsep dasar demokrasi di dalam tayangan-tayangan mereka. Demokrasi tidak hanya menjadi bagian dari tayangan berita, tetapi juga hiburan, seperti sinetron bertemakan pendidikan demokrasi, iklan demokrasi, serta lagu-lagu populer yang menyuarakan prinsip-prinsip demokrasi, seperti kesetaraan antar manusia, keadilan, kemanusiaan, dan tanggung jawab moral kekuasaan. Hanya dengan itulah demokrasi bisa menjadi bagian dari kultur masyarakat Indonesia.***

(digali dr Reza Watimena/sebagai jurnal filsafat politik)

0 komentar:

Posting Komentar