30 Oktober 2011

Puisi yang Terinspirasi Seks

Bagaimana kalau seks jadi inspirasi puisi? Terserah. Sama seperti hal lain yang juga bisa menggerakkan kita menulis puisi. Seks pasti juga sesekali bisa mendorong kita untuk menuliskannya jadi puisi.


Bagaimana menuliskannya? Terserah juga. Bisa bagaimana saja menuliskannya. Bisa dibuat pantun, berbentuk soneta, atau bentuk puisi apa saja atau sajak bebas, sebebas-bebasnya. Sama seperti kalau kita terinspirasi menulis puisi dari rasa lapar, kangen, marah, atau ketika melihat petugas trantib menggusur rumah-rumah liar.


Hasilnya puisi seperti apa? Ya bisa jadi puisi yang bagus, biasa-biasa saja atau jelek. Tergantung kita yang menulisnya. Banyak penyair yang sesekali juga mengolah tema ini. Menghindari tema ini juga boleh saja. Kalau kita tak dapat menahan dorongan untuk menuliskannya juga, tinggal bagaimana mengendalikan dorongan itu agar puisi kita tak jadi puisi yang kehabisan tenaga. Puisi yang berhasil harusnya selalu bisa mengalirkan energi ke sebanyak-banyaknya pembaca setiap kali ia dibaca. Ada sesuatu dalam puisi kita yang terus-menerus mengalirkan makna. Tak henti henti membangkitkan penasaran. Tak habis-habis. 


Sekadar contoh, puisi Octavio Paz, Goenawan Mohamad dan Aslan Abidin kita kutip sebagian. Sebenarnya tak pasti juga bahwa ketiga puisi ini berangkat dari inspirasi pengalaman seksual. Mungkin hanya istilah-istilah yang menyaran ke sana yang dipakai oleh penyairnya untuk menegakkan bangunan puitiknya. Atau sebaliknya, metafor-metafor dan peristilahan dan kosa kata lain yang dipakai untuk membungkus pengalaman seksual agar tampil indah dalam puisi. Tidak banal.

Malam semalam / di ranjangmu / kita bertiga / rembulan, engkau dan aku // kubuka juga / bibir malammu / lembah lembab / gema tak lahir suara //...[Maithuna dalam buku Erotic: Beyond The Sade, Octavio Paz]. 
.....// Akan kuletakan sintalmu/pada tubir meja: / telanjang / yang meminta // kekar kemaluan purba, / dan zat hutan /yang jauh, dengan surya / yang datang sederhana. // Akan / kubiarkan waktu / mencambukmu, / lepas. Tak ada yang tersisa/dalam pigura // ....[Pada Album Miguel de Cuvarobias, dalam buku Andai Kita di Sarejevo, Goenawan Mohamad] 
Dan yang berikut ini dari Aslan: 
Pada suatu tengah malam, seusai menikmati / gravitasi di atas tubuhmu, kita bercerita tentang / newton dan buah apel yang jatuh ke bumi. "Jangan tinggalkan aku, apalagi di bumi ini," / katamu dengan kerongkongan kering.// [Lirisme Buah Apel yang Jatuh ke Bumi, terbit di Media Indonesia Minggu, Aslan Abidin]. [ha] 

0 komentar:

Posting Komentar