2 Desember 2013

Hujan, Sebutirnya Saja adalah Kehidupan

Tentang air yang tumpah dari langit, didahului oleh tanda; mendung dan langit yang menghitam. Kemudian berbondong-bondonglah air terjun ke tanah. Seperti saling berkejaran satu dengan yang lain, menjadi terdahulu sampai menjejak bumi.

Begitu teringat air. Teringat konten-konten kehidupan yang bergantung pada air. Tentang yang aku minum setiap saat, soal mandi dan cuci muka, saat membasahi dalam wudhu menjelang kunjungan rohani kepada Tuhan, ketika mencuci baju dan celana juga piring dan gelas, bahkan ketika menjumpai gelaktawa dan keriangan para pengojek payung yang mencoba menjawab hujan sebagai pintu rejeki penghidupannya.

Hati-hati dan waspadai banjir! Genangan air yang mengalir memang kerap merubah ruang-ruang legok di sekitar kita menjadi tempat berkumpulnya air selain laut, danau, waduk atau got. Merka menampung air yang tumpah itu, saat semuanya membatasi dirinya dari tumpahan air-air itu, air memilih caranya sendiri untuk tetap bergerak, jadilah banjir.

Pahami saja hujan sebagai bagian penting dalam kehidupan ini. Karena sejatinya, sebutir saja yang tumpah itu adalah kehidupan

(Hen Eska)

27 November 2013

Boediono Putar Balikkan Fakta : Bail Out Century Untuk Kepentingan Kekuasaan

Oleh Ir. Abdulrachim K. - Aktivis Gerakan Mahasiswa 1977/78
Setelah 7 jam diperiksa KPK dikantor Wapres, Boediono melakukan konperensi pers untuk membela diri melalui pembentukan opini.Ia bahkan mengatakan bahwa kebijakannya untuk menyelamatkan Bank Century  yang pertama-tama oleh Gubernur BI dinyatakan sebagai Bank gagal berdampak sistemik dan bersama-sama dengan Menkeu Sri Mulyani diberikan Bail Out adalah tindakan yang mulia.Apabila tidak dilakukan akan membuat krisis bagi dunia perbankan dan ekonomi Indonesia.

26 November 2013

Rasa itu; Mengalirlah (!)

Engkau yang memiliki hati, engkau juga si empunya rasa. Menetapkan hati adalah meneguhkan rasa. Segala asa berhak untuk diapungkan dan mengangkasa. Kemanapun ia mau hinggap?

Katakan saja, rasa yang terpinggirkan dan tak menyisakan sebutir asapun. Tapi jangan pernah lupakan, suatu haripun matahari akan memudar sinarnya. Itu kehendak penguasa waktu.

Bilang saja; iya! Kita punya rasa yang tak lagi saling mengisi, tak lagi saling mengiringi. Tapi jangan pernah lupakan, suatu haripun, bintang-bintang akan terbanting dan terpelanting. Itu kehendak pemilik jagad rasa.

Dan, sekarang; biarlah rasa mengalir kemana ia mau bermuara.

(Hen Eska)

Seperti selembar daun yang jatuh

Jika matahari pergi tanpa pamit, warna senja terhalang awan. Masihkah kau berdiri dengan kaki mengangkang, lalu menantang?

Sebaris burung terbang menerjang arah, menuai pengharapan hidup dipucuk dan puncak pepohonan. Bertarung dengan penghuni pohon yang lain. Kadang kalah dan menyimpan ambisi dalam-dalam.

Dibelahan belantara yang lain, manusia menebar janji-janji hidup. Laksana kepulan asap pabrik yang mengeluarkan polusi, serta menghilangan akal sehatnya sendiri.

Secarik kertas atau selembar daun penuh tulisan caci maki, ada harapan yang diluluhlantahkan sendiri. Harakiri atau mengakhiri sengalan nafas yang tak lagi punya makna apa-apa selain kesia-siaan.

Biarlah semesta memutar waktunya sendiri, sebab masih ada cinta yang tersematkan. Ia kata-kata keabadian, kalimat yang tak terpisahkan oleh jarak; sebab cinta menguatkan!

Cintaku sederhana, seperti selembar daun yang jatuh ke tanah

(Hen Eska)

25 November 2013

Dan, saya menjelmakan politik sebagai secangkir kopi


Pagi ini aku disambut langit hitam, itu tanda langit akan memuncratkan lagi airnya ke bumi. Biar saja, itu sudah menjadi tugas langit, sebab ia bukan lautan yang sanggup menggendong air yang jumlahnya tak terhitung laksana laut. Bukankah laut juga tak bertabur bintang-bintang?. Masing-masing telah digariskan tugasnya. Aku memegang nilai hidup yang mengalir. Tak ingin berharap bebas dari kesusahan tanpa berusaha mendapati kebahagiaan. Seterusnya begitu, seperti angin; kadang semilirnya menghanyutkanku pada mimpi-mimpi membuaikan, tapi tak jarang angin mengamukkan murkanya dengan kegagahan yang ia miliki.

Secangkir kopi dan 6 potong tahu goreng adalah penjemput asaku saban hari. Seperti ritual wajib yang tak boleh ditinggalkan. Tak heran, kalau banyak kerabat dan sahabat menyebutku sebagai kopiholic. Ya itu lebih baik, ketimbang mereka menamaiku dengan; begundal kopi!. Hidup itu sederhana, sesederhana kopi pagi. Manisnya bercampur pahit yang tak bisa kita sembunyikan. Kopi ya kopi, bukan tebu. Semanis apapun kopi, ia menyertakan kepahitan sebagai keniscayaan kopi. 

23 November 2013

Awas Vandalisme Politik



Suhu politik menuju pemilu 2014 makin terasa panas. Di prediksikan, awal tahun 2014 nanti, suhu itu makin memuncak dengan berbagai bentuk prilaku politik yang hadir ditengah masyarakat. Fase pertama, tentu saja soal pemilu legislatif. Dititik ini, banyak diasumsikan sebagai -kudakuda politik- menuju pertarungan yang lebih tinggi, yaitu pilpres. 

15 November 2013

Sekerat Ideologi



Saya mengamini obrolan dan celetukan di warung kopi tadi malam. Padahal hanya obrolan di kedai kopi yang baru buka di ujung jalan. Anggap saja; grand opening layaknya toko-toko besar di mal atau cafe selebritas yang banyak tersebar di kota-kota. Harga promosi, secangkir hanya 2 ribu rupiah. Pasti harga kelas bawah, tapi soal citarasa boleh dibandingkan dengan taste kopi cafe dan hotel berbintang.

Menikmati kopi tentu dengan mengumbar obrolan. Ya soal serius, setengah serius sampai hal-hal yang coba diseriusi sekalipun bermuara pada bualan-bualan tak jelas. "Guwe ngarep nih negara gak bangkrut mas bro", kata seorang teman yang memulai pembicaraan dengan tema negara. Padahal sejak awal kita hanya bicara datar tentang kabar teman-teman yang lain, tentang hiruk pikuk kehidupan di sekitar kita saja. "Lah koq bangkrut bang?", tanya saya pada teman itu. Menurutnya, negara ini sudah benar-benar tak terkendali, auto pilot dan tak satupun pemimpin yang sanggup memberi penggambaran kemana arah perjalanan bangsa ini. "Coba sekarang lihat dan cermati, negara yang namanyat Indonesia ini hanya berisi dengan cekcok politisi, polisinya ikut-ikutan gak jelas, artisnya ngelawak yang terlanjur gak lucu tapi tetap ditertawakan, pejabatnya korupsi, anak-anak mudanya lebih memilih kehidupan yang western style, hukumnya runtuh tanpa secuilpun kepercayaan dari rakyat, dan terlampau banyak untuk kita urai dan sebutkan satu per satu", jelas teman yang sudah memesan secangkir kopi untuk kedua kalinya. Awalnya saya tertarikm tapi lebih tertarik dengan gaya ngopinya yang pakai nambah itu.

"Weh, kopinya sudah nambah lagi bang?," tanya saya yang langsung diberi anggukan kepala oleh teman saya itu. Kita ngopi saja sudah jadi kebiasaan, nyandu ujungnya minum secangkirpun kurang. Jadi menurut saya, sesuatu itu bila sudah menjadi menu wajib, selalu terasa kurang. Begitupun soal-soal yang sekarang gentanyangan di benak kita. Soal korupsi misalnya, ya pasti gak mau sekali, bila perlu berkali-kali dan tak pernah ada puasnya. Saya hanya menganalogikan secara sederhana soal ngopi dan korupsi. Soal ngopi dan menjaga kewibawaan hukum. Soal ngopi dengan tradisi kawin-cerai selebriti atau ngopi dengan kebiasaan suap atau pungli di sekitar kita itu.

"Wah, ente sudah menemukan benang merahnya tentang alur pembicaraan kita mas bro", kata teman yang lain. Semakin hiruk pikuk saja obrolan tadi malam. "Lalu solusi yang paling jitu, atau setidaknya ideal mengatasi problem bangsa ini apa?", tanyanya. Manusia hidup dibentengi oleh keimanan, tapi agama menjadi komoditas prilaku yang menyimpang dari pemeluknya. Agama bisa menjadi benteng mencegah perbuatan tercela. Tapi sayangnya, manusianya terlanjur menjadikan agama sebagai dogma-dogma tertulis tanpa diiukti dengan perlakuan yang sebangun dengan nilai ajaran agama itu sendiri. 

Pada akhirnya, kita lelah sendiri mempersoalkan penyakit negeri ini. Namun saya lalu teringat dengan satu kata: ideologi!. Ya, ideologi hidup di benak kita sebagai prasyarat bahwa kita memegang teguh prinsip-prinsip kehidupan. "Jangan bawa agama, nanti kita dimusuhi banyak orang yang menjelmakan agama sebagai legalitas kebenaran di hadapan banyak orang, sekalipun hanya jargon-jargon artifisial", kata saya seraya mengingatkan teman-teman tentang isu sensitif jika sudah membawa label agama. Jadi kesimpulannya, saya lebih bersikukuh dengan nafas ideologi, sekalipun tersisa hanya sekerat. Ya, sekerat ideologi yang akan menghantarkan saya untuk tetap tak terbuai dengan segala jenis hedonisme. 

Ideologi itu muaranya keberpihakkan. Seperti kita memilih kedai kopi kecil dan sederhana ketimbang ngopi di etalase cafe yang mewah. Artinya kita berpihak pada pedagang kecil ketimbang pengusaha dan pemodal yang besar. Ideologi memang tak seampuh agama. Dan biar saja, tiap orang punya ideologi masing-masing. Tapi setidaknya, ideolog tak akan menggunakan khotbah-khotbah ideologi seperti mereka yang selama ini menjadikan agama sebagai alat propaganda pembenaran semata.# hen eska