21 Juni 2011

Mutasi (yang) Offside !

 
- Kebijakan mutasi yang dilakukan Plt Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi mengundang sorotan berbagai kalangan. Bahkan di internal pemerintahan Kota Bekasi sendiri kesan yang muncul adalah disharmonisasi birikorasi. Mutasi dinilai melanggar aturan ataupun izin Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) nomor 832-24/1278/SJ tanggal 13 Mei 2011. Apakah ini juga inheren dengan ditubruknya PP 49 Tahun 2008 pasal 132 huruf A, mutasi bagi seorang Plt harus seizin Mendagri. Dengan demikian, mutasi yang tak berkesesuaian dengan aturan bisa terkategori cacat hukum.(?).

Terlebih lagi mutasi yang bisa disebut massal ini cenderung mengabaikan pola penempatan sesuai azas kepegawaian. Dengan sendirinya, ikhwal untuk pengisian jabatan lowong justru diikuti dengan mutasi dan rotasi pejabat eselon II, III serta menyusul belakangan eselon IV. Pada aspek inilah, banyak kalangan menyikapi secara kritis atas kebijakan itu. Karena bisa berimplikasi pada tugas-tugas pelayanan publik secara umum.

Secara ektrem, ada semacam penerapan politik hegemoni dari sebuah kepemimpinan politik atas kekuatan birokrasi. Jika ini yang didengungkan, maka sesungguhnya birokrasi menjadi sub-ordinat kekuatan politik. Padahal dalam banyak hal, birokrasi mesti terbebas dari kooptasi kekuasaan atau politik. Akibatnya relasi antara pejabat politik (political leadership) dan birokrasi terjalin hubungan yang konstan (bersinambung) sebatas pada pelanggengan hegemoni kekuasaan. Hal ini memang persoalan klasik sebagai wujud dikotomi politik dan administrasi. Sehingga sangat wajar jika pertanyaan yang mengemuka adalah apakah birokrasi sebagai subordinasi dari politik (executive ascendancy) atau birokrasi sejajar dengan politik (bureaucratic sublation). 

Pada wilayah praksis, birokrasi kita (baca: Pemkot Bekasi) tersandera oleh kepemimpinan politik. Loyalitas dibangun pada fase kepemimpinan politik. Praktek ini tentu menciderai birokrasi sebagai pengemban administrator. Kaum birokrat mesti memahami bahwa tak ada kepemimpinan politik yang bersifat permanen. Di ranah politik, kita kenal adagium “beli kucing dalam karung”, tapi di ranah birokrasi tak mengenal adagium dan postulat-postulat politik kecuali etika birokrasi sebagai -abdi negara-. Tugasnya melayani masyarakat sesuai dengan porsinya atau sering kita dengar sebagai Tupoksi.

Ekspektasi publik adalah terselengaranya tata pemerintahan yang saling bersinergi dari semua komponen pemerintahan, kekuatan politik dan ditopang dengan tingginya partisipasi masyarakat dalam gerak pembangunan di Kota Bekasi. Harapan ini tentu mempunyai tolak ukur. Salah satunya adalah membebaskan birokrasi sebagai “kaki-tangan” kekuasaan politik. 

Barangkali akan lebih wisdom jika Plt. Walikota Bekasi juga mampu menyelami spirit ini, sehingga mampu menunjukkan fatsun politik yang memadai. Karena menyandera birokrasi akan menjadi “bom waktu” yang kapan saja bisa meledak. Kalau saya analogikan dengan permainan sepak bola; jangan sampai offside !. 

Seberapapun peluang mencetak gol ke gawang lawan, jika anda terperangkap offside, maka tak ada gunanya. Lawan juga yang akan bersorak di ujung permainan. Itu karena lawan berhasil menceploskan bola ke gawang kita. Bukan itu saja. Anda bisa mendapatkan kartu kuning bahkan kartu merah karena menolak diangap offside berkali-kali.

Hen Eska, Pengiat di Kelompok Kerja Decade Kritis [Pokja DeKRIT], Tinggal di Bekasi
(brat

Sumber: http://bekasiterkini.com/read/2909/mutasi--yang--offside-

0 komentar:

Posting Komentar