14 Juni 2011

Ironi Demokrasi, Pesta Kaum Elite

Penulis : Antonio Pradjasto*   
Setelah 12 tahun Reformasi berlangsung, tampaknya kita masih harus mempertanyakan capaian proses demokrasi di Indonesia. Desentralisasi memang telah berlangsung beberapa tahun belakangan, namun ibarat pesta, ternyata kue hanya dinikmati oleh sekelompok elite lokal setempat.
Demokratisasi tak mampu meningkatkan kualitas kesejahteraan, keadilan, dan rule of law. Dengan kata lain, demokratisasi yang berlangsung hanya menguntungkan kaum elite yang memiliki akses terhadap kekuasaan.Sementara itu, kalangan pinggir masih berada di tepian. Angka kemiskinan masih meninggi, meski alokasi anggaran publik untuk mengentaskan kemiskinan naik berlipat.

Kondisi timpang ini masih terjadi terutama disebabkan minimnya pemahaman demokrasi substansial. Banyak sudah perubahan kelembagaan dilakukan namun demokrasi yang ada belum mampu mengatasi kekerasan, perlindungan pada minoritas, dan justru ditunggangi kelompok fundamentalis agama dan pasar. Banyak sudah program-program populis yang diklaim dirancang, namun tak mampu mengenyahkan kemiskinan. Sumber daya publik seperti anggaran belanja mengalami pembajakan yang akut oleh kepentingan oligarki. 

Demokratisasi tidak berhasil menjadikan sumber daya publik terdistribusi, tetapi ironisnya menjadi lahan bagi elite untuk mengakumulasi kekayaan. Menurut penelitian Demos (2009-2011) mengenai “pemenuhan hak ekonomi, sosial-budaya” dan mengenai “politik anggaran menunjukkan tiadanya niat negara menyejahterakan rakyatnya. 

Jikapun terdapat program-program pembangunan, kesejahteraan bukan merupakan tujuan kebijakan tersebut.
Di tingkat yang paling keras, yaitu penganggaran dana publik, ternyata politik alokasi anggaran lokal (APBD) mencerminkan tiga pilar kepentingan elite oligarki tersebut: populisme semu, birokrasi, dan rente. Anggaran digunakan untuk Royal pada diri sendiri. Dari studi tersebut diperoleh lebih dari 75 persen anggaran belanja lokal digunakan untuk membiayai keperluan birokrat. 

Jumlah ini didapat dari jumlah belanja tak langsung ditambah dengan alokasi honor, belanja aparatur lainnya yang terselip dalam pos belanja langsung. Untuk itu, tak mengherankan, meski anggaran untuk pendidikan cukup tinggi, namun setelah diselisik, alokasi terbesarnya ternyata diperuntukkan bagi membiayai pegawai.Tentu saja hal ini mengundang ironi tersendiri. Beberapa daerah yang menjadi wilayah penelitian Demos menunjukkan mereka lebih memprioritaskan belanja pegawai ketimbang membangun sarana pendidikan seperti sekolah yang ambruk dan rusak parah.

Warga Hanya Menonton
Partisipasi warga dalam perencanaan pembangunan pada akhirnya sekadar aksesori pesta pembangunan. Hajatan musrenbang seperti pesta karnaval tahunan yang memosisikan warga sebagai penonton. Partisipasi warga terdominasi oleh teknokratisme maupun transaksi kepentingan antara eksekutif dan legislatif. Gambaran suram ini harus dilihat sebagai dering peringatan bahwa proses demokratisasi di Indonesia harus segera diperbaiki. Karena demokrasi idealnya harus dapat memberi arti bagi masyarakat.

Jika demokrasi dirasa tidak bermakna, masyarakat pun menjadi resah, mandek atau kecewa. Proses demokrasi pun terancam. Bagaimanapun sistem demokrasi merupakan pilihan tepat ketimbang harus kembali ke periode gelap otoritarianisme yang menawarkan kesejahteraan semu. Sistem pemerintahan otoriter bukanlah pilihan. Justru, kita tetap boleh berharap pada demokrasi, karena demokrasi memiliki kapasitas untuk terus diperbaharui. Yang perlu dilihat adalah persis titik-titik mana dari demokrasi yang masih defisit agar menjadi lebih bermaknaan demokrasi membawa kesejahteraan.

Berdemokrasi tidak berarti hanya bangga dengan berdirinya ratusan partai semenjak reformasi dimulai; atau penyelenggaraan pemilu secara adil dan damai. Tidak cukup pula dengan memiliki indeks kebebasan tertinggi se-Asia Pasifik. Apalagi sekadar kegaduhan gedung parlemen yang menonjolkan orkestrasi politik dengan efek yang sangat minim bagi kesejahteraan rakyat kebanyakan. Banyaknya pilihan partai politik, pemilu yang bebas dan adil serta kebebasan itu semua, baik dan perlu dipertahankan. Yang defisit dan perlu dihadirkan adalah emosi warga negara. Sebagai warga negara, elite maupun warga biasa, aktif mengambil keputusan publik berdasarkan pada paham kewargaan. Sebagai warga negara kita menghormati HAM, pluralisme, dan prinsip demokrasi lainnya. 

*Penulis adalah Direktur Eksekutif Demos.

0 komentar:

Posting Komentar