4 Mei 2011

Manusia Stalin dan Kita

oleh:Indra J Piliang


Maunya menonton pertandingan pamungkas FC Barcelona dan Real Madrid dalam semifinal Liga Champion. Tetapi apa nyana, HBO menayangkan satu film bagus dengan judul Stalin. Karena sepakbola bisa mengandalkan tayangan ulang pada jam istirahat, terutama gol-gol yang tercipta, terpaksa pilihan dijatuhkan kepada film Stalin. Apalagi, kalau disiarkan ulang, saya belum tentu bisa menontonnya. 

Tentu film hanyalah cuplikan-cuplikan kecil dari riwayat seorang Stalin. Belum lagi film harus mengandalkan unsur dramatik. Film yang mengandalkan tuturan putri Stalin ini, Svetlana Alliluyeva, dari istri kedua Nadezhda Alliluyeva. Apalagi Svetlana bukanlah sosok yang bisa masuk ke lingkungan terdekat politik ayahnya, mengingat ia masih kecil. Ibunya bunuh diri pada tahun 1932, ketika Svetlana berusia 9 tahun. 
Film ini lebih banyak berkisah tentang tragedi dalam keluarga Stalin, terutama ibu Svetlana. Stalin bertemu Nadezhda yang menjadi sekretarisnya, ketika ditugaskan oleh Lenin ke daerah selatan Moscow.  Waktu itu usia Nadezhda masih 16 tahun. Misi Stalin sukses, yakni menenggelamkan sejumlah polisi pembangkang yang dipaku di dalam sebuah kapal. 

Stalin menjadi Sekjen Partai Komunis Sovyet pada tahun 1922, dua tahun sebelum kematian Lenin. Lenin mengalami stroke dan dijauhkan dari kehidupan politik. Dalam perebutan pengaruh sebelum dan setelah kematian Lenin, Stalin menghadapi sosok kuat Leon Trotsky, seorang pemimpin revolusi Bolshevik pada 1917 dan komandan Tentara Merah.  Trotsky dan Stalin adalah dua pedang kembar Lenin yang sering berbeda pendapat dalam masalah apapun. 

Setelah kematian Lenin pada tahun 1924, sebuah surat wasiat dari Lenin dibacakan betapa Stalin tidak cocok meneruskan jabatan sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Sovyet. Namun, Stalin terlalu kuat, hingga bisa mempengaruhi pimpinan partai betapa surat itu bukanlah surat wasiat. Pertarungan kepentinganpun terjadi dengan Stalin sebagai pemenangnya. Trotsky ditangkap, lalu dibuang sampai ke Mexico. Ia dibunuh oleh seorang agen Sovyet pada 21 Agustus 1940. 

Kekalahan Trotsky dan kematiannya membawa Stalin pada posisi yang sangat kuat. Ia  membangun kekuatan dari kawan-kawan terdekatnya.  Beragam konspirasi terjadi dalam pikiran Stalin. Pada gilirannya, hampir semua kawan-kawan terdekatnya menemui ajalnya, baik ditembak, disuruh bunuh diri, atau dibuang ke penjara yang jauh. 

Stalin adalah kisah orang yang tak percaya kepada siapapun, bahkan terhadap istrinya sendiri. Anak lelakinya dari istri yang lain yang dapat perlindungan Nadezhda  malah diperlakukan dengan buruk. Ketika anaknya ini dilarang menikah dengan seorang perempuan Yahudi, anaknya berusaha bunuh diri dengan menembakkan pistol ke kepalanya, namun melenceng. Hanya satu komentar Stalin: "Bahkan menembakpun dia tak lurus." Dalam Perang Dunia II, anaknya yang masuk dinas ketentaraan ditangkap Jerman. Stalin tak berusaha menolongnya. Anaknya mati ketika berusaha meloloskan diri dari penjara Jerman. 

Dalam masa kekuasaan Stalin selama 31 tahun (1922-1953) inilah Sovyet melakukan banyak perubahan. Para petani dipaksa meninggalkan lahan-lahannya, ketika gandum mereka dijual kepada pemerintah. Stalin menjual gandum itu ke luar negeri, lalu mendatangkan industrialisasi. Perlahan, Sovyet mengubah diri dari negara agraris menjadi negara industri. Sekalipun menghadapi tekanan hebat dari Jerman yang masuk ke tanah Sovyet, Stalin berhasil memenangkan perang itu bersama Inggris dan Amerika Serikat beserta sekutu-sekutunya yang lain. Usai Perang Dunia ke-II, Sovyet terlibat perang dingin dengan Amerika Serikat. Stalin mencoba membangun hubungan dengan China dan Korea (Utara). 

Zaman ketika Stalin menjadi penguasa Sovyet adalah fase bergemuruh dari pergerakan menuju kemerdekaan Indonesia. Sejumlah anak-anak muda Indonesia menempuh pendidikan di negeri Belanda, lalu bertemu dengan anak-anak muda negara lain. Pengaruh Revolusi Bolshevik ketika kekuasaan Tsar runtuh bergema di seluruh Eropa. Kontak-kontak terjadi di kalangan para mahasiswa, termasuk yang menganut paham komunisme.

Satu di antara anak muda itu adalah Tan Malaka. Ketika Sovyet menempuh garis perlawanan terhadap kapitalisme, kaum radikal di Indonesia menyambut itu. Sosok penting dibalik itu adalah Alimin yang menempuh perjalanan ke Sovyet. Upaya pemberontakan terhadap Belanda disusun. Tan Malaka menolak rencana itu. Maka Tan mendapat julukan dari Muhammad Hatta sebagai sosok yang berpunggung lurus, Stalinpun dilawannya. Pemberontakan memang meletus di Banten dan Sumatera Barat pada tahun 1926, dua tahun setelah Lenin meninggal dunia. Belanda dengan mudah memadamkan pemberontakan itu. Para tokohnya yang penting dibuang ke Tanah Merah, Papua. 

Tan barangkali adalah sebagian kecil dari founding fathers and mothers Indonesia yang selalu mengikuti gerak Stalin. Dari tangan Tan lahir sejumlah risalah yang dibaca oleh pimpinan-pimpinan pergerakan. Perjalanan Tan yang jauh dalam usaha menghindari kejaran intel-intel polisi Belanda, juga membawanya ke Sovyet dan China. Dengan caranya, Tan menjalin komunikasi terus dengan kalangan pergerakan lain, terutama mencoba mengambil keuntungan bagi Indonesia dalam sepakterjang para tokoh dunia seperti Hitler dan Stalin, serta Jepang dan belakangan Amerika Serikat. 

Tidak heran kalau pengaruh Sovyet ke Indonesia menjadi kuat, di bawah pengaruh Belanda. Dan Indonesia sebagai negara baru harus mencoba untuk bertahan. Dalam beragam kecamuk politik internasional itu, Indonesia membentuk sejumlah persekutuan, antara lain dengan Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955, dua tahun setelah kematian Stalin. Soekarno menjadi sosok yang mengemuka dari negara Asia Afrika itu. Tetapi jangan lupa, jaringan pengetahuan, informasi, sampai logistik tetap berada di bawah kendali sosok-sosok lain yang sudah membangun komunikasi dengan Sovyet sejak sebelum Indonesia merdeka. 

Barangkali, dari sanalah kita mengerti, kenapa senjata-senjata Sovyet lebih banyak dipakai oleh Tentara Nasional Indonesia dalam menghadapi sejumlah "pemberontakan daerah". Barangkali karena itu juga kita sadar betapa arus kiri begitu kuat dalam alur sejarah Indonesia sejak sebelum kemerdekaan sampai tahun 1965. Sebelum kemudian China menjadi penting, di tengah proses revolusinya yang berdarah-darah, sejumlah aktor politik di tanah air membangun komunikasi dengan Sovyet, baik dari kubu Partai Nasional Indonesia, maupun dari pihak Partai Komunis Indonesia.

Karena itu juga, sejumlah orang Indonesia tak bisa pulang ke tanah air setelah rezim berganti pada tahun 1965. Dan karena itu juga Soekarno dikenal sebagai sosok genius di kalangan orang-orang tua di Uni Sovyet. Hubungan "historis" inilah yang dipatahkan oleh rezim pasca 1965, ketika peranan Amerika Serikat menjadi penting di Indonesia. China dan Sovyetpun pelan terhapus dalam benak manusia-manusia Indonesia, karena keberhasilan propaganda anti merah dan anti komunis. 

Lalu, bagaimana kini? Sovyet telah terpecah menjadi sejumlah negara. Bahkan Tbilisi, Georgia, tempat kelahiran Stalin, sudah menjadi negara terpisah dari Uni Sovyet lama. Kita, di Indonesia, kini sedang menghadapi gemuruh baru hantu-hantu yang tak jelas yang entah datang darimana. Kalau sebelumnya bahaya merah (komunis) begitu kuat, kini kembang-kembang api bahaya hijau -- misalnya Negara Islam Indonesia -- terus berhamburan di langit pemberitaan pers kita. 

Stalin adalah bahaya yang tak banyak disebut dalam doktrin bahaya merah sekalipun. Tap MPRS No. III/1966 tentang Larangan Ajaran Marxisme-Leninisme-Komunisme tidak menyebut nama Stalin, apalagi Stalinisme. Walau Tap MPRS itu sudah dihapus, terkandung pertanyaan besar betapa para pengambil keputusan menyangkut Tap MPRS itu tak mensejajarkan Stalinisme dengan Leninisme, apalah lagi menyebut sosok kuat ketiga dalam zamannya: Trotskisme. 

Dimana letak Pancasila dalam pertaruhan besar negara ini, dalam menuju cita-cita kemerdekaannya? Barangkali diulas dalam tulisan yang lain. 

Di dalam genggaman tangan anaknya, Svetlana, Stalin meregang nyawa. Ia menuntun tangan anaknya menunjuk foto ibunya:  Nadezhda. Dalam pembicaraan sebelum kematian itu, Stalin berkata: "Ia melawanku. Ia mengkhianatiku!" Stalin adalah lelaki yang menderita, ketika sosok istrinya tak bersamanya menempuh tahun-tahun yang -- entahlah, apakah hebat ataukah tragis -- dalam hidupnya...

Jakarta, 4 Mei 2011


0 komentar:

Posting Komentar