1 November 2010

Bangsa Tanggung itu Bernama Indonesia

Integritas dapat dipahami sebagai keteguhan moral dan intelektual untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu, lepas dari semua resiko yang dihadapinya. Integritas menolak sikap tanggung, yakni sikap yang melakukan segala sesuatu secara ogah-ogahan demi mencapai hasil yang minimal. Indonesia perlu menata ulang integritas perjuangannya , dan melepaskan diri dari predikat sebagai bangsa tanggung. Bangsa Tanggung
Apa ciri orang yang tanggung? Setidaknya saya melihat dua ciri orang tanggung. Pertama, orang tersebut mengalami demotivasi. Ia tidak memiliki motivasi untuk mengerjakan sesuatu. Ia tidak mengerti mengapa ia harus mengerjakan sesuatu. Ia hidup secara mengambang di dalam derap perubahan kehidupan.

Ia tidak melakukan yang diminta darinya, melainkan hanya sejauh ia menginginkannya. Ia mengerjakan separuh lalu melepaskan sisanya. Hidupnya dipenuhi keraguan. Akibatnya ia tidak pernah mencapai apapun dalam hidupnya. Prestasi adalah sesuatu yang langka. Bangsa yang tanggung juga memiliki ciri serupa. Bangsa itu tidak memiliki motivasi untuk maju, karena tidak mengerti ke arah mana mereka menuju. Bangsa itu diselimuti keraguan. Visi dan misi bangsa itu pun hanya tinggal guratan huruf tanpa makna. Bangsa itu bernama Indonesia.

Kedua, orang tanggung itu biasanya tampak sibuk. Namun sebenarnya ia bingung mau melakukan apa, sehingga melakukan semuanya, dan kemudian tampak sibuk. Ia melakukan A-Z. Padahal yang diperlukan hanya B. Akibatnya B justru tidak terwujud secara maksimal, karena pikiran dan tenaga habis untuk hal-hal yang tidak esensial. Bangsa yang tanggung pun memiliki ciri serupa. Bangsa itu tampak sibuk, tetapi sebenarnya tidak mengerjakan apa-apa. Agendanya banyak namun tidak ada yang sungguh dikerjakan secara fokus untuk mewujudkannya. Bangsa itu bernama Indonesia. Reformasi tanggung, birokrasi tanggung, pemilu tanggung, kebijakan pendidikan tanggung, dan pemberantasan korupsi yang tanggung, itulah ciri Indonesia.

Dari Mana?
Sebuah bangsa disebut sebagai bangsa tanggung, karena bangsa tersebut tidak memiliki integritas. Dalam arti ini seperti sudah disinggung sebelumnya, integritas adalah sikap teguh pada satu tujuan tertentu, dan bekerja secara tekun untuk mencapainya. Rupanya Indonesia tidak memiliki sikap teguh semacam ini. Indonesia tidak memiliki integritas.

Pertanyaan besarnya adalah darimana integritas tersebut itu lahir? Bagaimana membangkitkan integritas di dalam “diri” sebuah bangsa? Integritas lahir dari mata yang melihat. Mata yang bukan hanya menengok, tetapi sungguh melihat. Melihat berarti mengamati, memahami, dan menginternalisasi. Di dalam pengamatan akan muncul pemahaman, dan di dalam pemahaman akan muncul api yang mendorong tindakan. Api tersebut tidak didorong oleh semata emosi, melainkan dari kepedulian yang muncul dari melihat. Kepedulian itu menyentuh jiwa, dan menggerakan keseluruhan diri untuk terlibat.

Integritas juga lahir dari telinga yang mendengarkan. Telinga yang mendengarkan siap untuk menerima. Telinga yang mendengarkan ingin menangkap tidak sekedar suara, melainkan makna untuk dirasa. Penangkapan makna melalui telinga yang mendengarkan tersebut akan menggerakan kepedulian, yang pada akhirnya akan menjadi bahan bakar untuk tindakan.

Integritas lahir dari mata yang melihat dan telinga yang mendengarkan. Keduanya akan bermuara pada pemahaman. Sikap teguh bukan berkembang di ruang hampa udara, melainkan di lautan penderitaan yang menyiksa jiwa. Penderitaan yang akan menyalakan api kepedulian, dan memaksa diri untuk terlibat mengubah keadaan. Spiritualitas integritas lahir dari mata dan telinga yang sungguh menyentuh dan memeluk dunia.

Pada level yang lebih praktis, integritas sebuah bangsa terbentuk dari kepemimpinan yang visioner dan radikal. Kepemimpinan visioner adalah kemampuan memimpin yang dapat memberikan arah yang jelas dan realistis bagi pihak-pihak yang dipimpin. Arah tersebut terus digaungkan, dan dihayati oleh seluruh komunitas. Arah tersebut kemudian dipecah ke dalam tujuan-tujuan jangka pendek yang nantinya akan dikerjakan bersama oleh komunitas terkait. Visi adalah mimpi bersama. Visi akan merangsang gairah untuk bekerja. Visi akan membentuk kultur komunitas.

Visi tidak akan terwujud, tanpa kemauan dan kemampuan untuk bekerja. Untuk itu diperlukan kepemimpinan yang radikal (radix: akar), yakni kepemimpinan yang mengakar. Seorang pemimpin radikal bersedia bekerja dari level perumusan misi sampai memotivasi pihak yang dipimpin, yang bekerja di akar rumput. Ia mengorbankan dirinya untuk pihak yang dipimpin, untuk sungguh mewujudkan mimpi organisasi ke dalam dunia nyata.

Integritas adalah fondasi dari setiap keberhasilan. Sebuah bangsa akan menjadi bangsa besar, jika mereka melepaskan sikap tanggung, dan menumbuhkan integritas. Para pimpinan Indonesia perlu untuk menggaungkan visi yang jelas dan realistis ke seluruh pelosok tanah air. Para pimpinan juga perlu bekerja sampai ke akar rumput, dan jika perlu mengorbankan diri mereka untuk mencapai tujuan bersama. Jika tidak siap seperti itu, silahkan turun dari jabatan pemimpin. Lapangkan jalan bagi mereka, yang memiliki “api” integritas, untuk memimpin.***

(Diduplikasi dari pikiran-pikiran Rizal Watimena/Rumah Filsafat ( The House of Philosophy)

0 komentar:

Posting Komentar