Negara adalah
organisasi kekuasaan. Di mata Soekarno, ketika ia dan pendiri bangsa lainnya
sedang merumuskan Indonesia merdeka, negara Indonesia merdeka diandaikan
sebagai organisasi kekuasaan rakyat. Dengan organisasi kekuasaan ini, bangsa
Indonesia berjuang untuk mencapai cita-cita bersama.
Agar mudah
membayangkan Indonesia masa depan itu, kita andaikan saja negara Indonesia ini
dengan sebuah rumah besar: seluruh penghuni bisa bernaung di dalam rumah itu
dan merasakan kebahagiaan secara bersama-sama. Untuk menjamin organisasi
kekuasaan ini bisa berjalan dengan baik sesuai cita-cita, maka sistim yang
dipilih mestilah yang berdasarkan “kekuasaan rakyat”.
Dalam tulisan
“Mencapai Indonesia Merdeka”, Bung Karno dengan gamblang menjelaskan: “Gedung Indonesia
sempurna itu hanyalah bisa didirikan Marhaen Indonesia, bilamana adalah leluasa
mendirikannya -tidak terikat oleh ini, tidak terikat oleh itu- yakni bilamana Marhaen, dan tidak fihak lain,
mempunyai kemerdekaan gerak-bangkit yang tak terhalang-halang.”
Lebih lanjut,
supaya kemerdekaan nasional itu benar-benar terpastikan untuk kepentingan
rakyat, maka di dalam kemerdekaan nasional itu kekuasaan harus berada di tangan
kaum marhaen. “Bukan kaum borjuis, bukan kaum ningrat, bukan kaum musuh kaum
marhaen, tetapi harus kaum marhaen yang memegang politieke
macht (kekuasaan
politik).
Pertanyaannya:
apakah politieke macht Indonesia saat ini berada di tangan
kaum marhaen Indonesia? Tidak. Sejak Indonesia merdeka hingga sekarang kaum
marhaen belum pernah benar-benar memegang politieke macht. Di jaman
Soeharto, jangankan berbicara kekuasaan politik, berbicara soal politik pun
rakyat tidak dibolehkan.
Ini makin
parah di jaman neoliberal ini. Negara mengalami proses deformasi:
neoliberalisme mengurangi sebanyak-banyaknya peran negara dalam urusan
kesejahteraan rakyat dan layanan publik. Tetapi, secara politik, negara justru
dibuat makin tidak demokratis dan menjauh dari partisipasi rakyat.
Tapi negara
memang bukan “organisasi netral”. Sekarang, di tangan pemilik modal, negara
menjadi alat kekerasan untuk menindas rakyat. Pernahkah negara memihak rakyat
dalam pertikaian dengan modal? Pernahkah apparatus negara melindungi kaum
tani saat terjadi konflik agraria? Pernahkah apparatus negara memihak kaum buruh
saat menggelar aksi pemogokan melawan si kapitalis?
Hal itu tidak
akan pernah terjadi dalam negara kapitalis. Bahkan neoliberalisme—sering
disebut “kapitalisme tanpa sarung tangan”—jauh lebih brutal lagi dalam menindas
dan menyingkirkan massa-rakyat. Hampir semua kebijakan ekonomi dan politik,
umumnya didorong oleh kelompok bisnis, diputuskan tanpa konsultasi dengan
rakyat banyak. Bahkan, rejim neoliberal melakukan amandemen konstitusi UUD 1945
empat kali tanpa meminta pendapat rakyat Indonesia.
Indonesia pun
tidak menjadi rumah yang nyaman dan melindungi seluruh tumpah-darah bangsa
Indonesia. Sebaliknya, darah-rakyat justru terus tertumpah akibat kekerasan dan
represifitas aparat negara sendiri. Kita juga melihat betapa rakyat tak bisa
mengakses tanah dan kekayaan alam negerinya sendiri.
Kita juga
melihat bagaimana aparat keamanan negara, dalam hal ini TNI/Polri, selalu
mendefenisikan musuhnya berasal dari internal. Sedangkan musuh yang paling
pokok, yaitu imperialisme/kolonialisme, justru tidak ditangkal oleh angkatan
perang kita. Dalam banyak kasus, aparat keamanan kita justru menjadi penjaga
kepentingan kolonialisme dan imperialisme.
0 komentar:
Posting Komentar