5 November 2013

Negara dan Rakyat

Negara adalah organisasi kekuasaan. Di mata Soekarno, ketika ia dan pendiri bangsa lainnya sedang merumuskan Indonesia merdeka, negara Indonesia merdeka diandaikan sebagai organisasi kekuasaan rakyat. Dengan organisasi kekuasaan ini, bangsa Indonesia berjuang untuk mencapai cita-cita bersama.
Agar mudah membayangkan Indonesia masa depan itu, kita andaikan saja negara Indonesia ini dengan sebuah rumah besar: seluruh penghuni bisa bernaung di dalam rumah itu dan merasakan kebahagiaan secara bersama-sama. Untuk menjamin organisasi kekuasaan ini bisa berjalan dengan baik sesuai cita-cita, maka sistim yang dipilih mestilah yang berdasarkan “kekuasaan rakyat”.
Dalam tulisan “Mencapai Indonesia Merdeka”, Bung Karno dengan gamblang menjelaskan: “Gedung Indonesia sempurna itu hanyalah bisa didirikan Marhaen Indonesia, bilamana adalah leluasa mendirikannya -tidak terikat oleh ini, tidak terikat oleh itu- yakni bilamana Marhaen, dan tidak fihak lain, mempunyai kemerdekaan gerak-bangkit yang tak terhalang-halang.”
Lebih lanjut, supaya kemerdekaan nasional itu benar-benar terpastikan untuk kepentingan rakyat, maka di dalam kemerdekaan nasional itu kekuasaan harus berada di tangan kaum marhaen. “Bukan kaum borjuis, bukan kaum ningrat, bukan kaum musuh kaum marhaen, tetapi harus kaum marhaen yang memegang politieke macht (kekuasaan politik).
Pertanyaannya: apakah politieke macht Indonesia saat ini berada di tangan kaum marhaen Indonesia? Tidak. Sejak Indonesia merdeka hingga sekarang kaum marhaen belum pernah benar-benar memegang politieke macht. Di jaman Soeharto, jangankan berbicara kekuasaan politik, berbicara soal politik pun rakyat tidak dibolehkan.
Ini makin parah di jaman neoliberal ini. Negara mengalami proses deformasi: neoliberalisme mengurangi sebanyak-banyaknya peran negara dalam urusan kesejahteraan rakyat dan layanan publik. Tetapi, secara politik, negara justru dibuat makin tidak demokratis dan menjauh dari partisipasi rakyat.
Tapi negara memang bukan “organisasi netral”. Sekarang, di tangan pemilik modal, negara menjadi alat kekerasan untuk menindas rakyat. Pernahkah negara memihak rakyat dalam pertikaian dengan modal?  Pernahkah apparatus negara melindungi kaum tani saat terjadi konflik agraria? Pernahkah apparatus negara memihak kaum buruh saat menggelar aksi pemogokan melawan si kapitalis?
Hal itu tidak akan pernah terjadi dalam negara kapitalis. Bahkan neoliberalisme—sering disebut “kapitalisme tanpa sarung tangan”—jauh lebih brutal lagi dalam menindas dan menyingkirkan massa-rakyat. Hampir semua kebijakan ekonomi dan politik, umumnya didorong oleh kelompok bisnis, diputuskan tanpa konsultasi dengan rakyat banyak. Bahkan, rejim neoliberal melakukan amandemen konstitusi UUD 1945 empat kali tanpa meminta pendapat rakyat Indonesia.
Indonesia pun tidak menjadi rumah yang nyaman dan melindungi seluruh tumpah-darah bangsa Indonesia. Sebaliknya, darah-rakyat justru terus tertumpah akibat kekerasan dan represifitas aparat negara sendiri. Kita juga melihat betapa rakyat tak bisa mengakses tanah dan kekayaan alam negerinya sendiri.

Kita juga melihat bagaimana aparat keamanan negara, dalam hal ini TNI/Polri, selalu mendefenisikan musuhnya berasal dari internal. Sedangkan musuh yang paling pokok, yaitu imperialisme/kolonialisme, justru tidak ditangkal oleh angkatan perang kita. Dalam banyak kasus, aparat keamanan kita justru menjadi penjaga kepentingan kolonialisme dan imperialisme.

0 komentar:

Posting Komentar