27 September 2013

Penghilangan Paksa Itu Menyakitkan

“When the military dictatorship tells in 1983 here in Argentina told that we should never look back. Yes, there was injustice. Yes, mistakes were made. But if we looked back, the pain would never end, the words would never heal. The general had already changed the meaning of the worlds ‘to disappear’. For then, things disappeared people disappeared. They spoke of disappearing people, disappearing their enemies. They had changed the language and now they wanted to disappear the past. They told us we must never look back. But we have to look back. It is our sacred duty to look back…”
Kehilangan adalah pengalaman yang dapat dialami tiap orang. Tak peduli dia perempuan atau laki-laki, tinggal di kota atau di desa, miskin atau kaya, penguasa atau rakyat jelata, orang muda atau lanjut usia. Pengalaman kehilangan tidak mengenal agama atau pun suku bangsa. Ia bersifat universal sehingga tidak seorang pun dapat luput darinya. Pengalaman kehilangan ini dapat muncul dalam berbagai bentuk yang berbeda-beda. Ada orang yang kehilangan harta, ada pula yang kehilangan orang yang dicintainya. Ada orang yang kehilangan pekerjaan, ada pula yang kehilangan tempat tinggalnya. Ada orang yang kehilangan jabatan, dan ada pula yang kehilangan kesehatannya. Bahkan akhirnya, tiap orang akan kehilangan nyawanya!

Semua kehilangan pasti akan menyakitkan, karena semula ada menjadi tiada. Terlebih bila yang hilang itu ialah orang yang paling berharga dalam hidup kita, entah itu anak, istri, orang tua atau siapa pun. Kehilangan karena kematian akan terjadi pada semua orang. Orang yang kehilangan nyawa akan dikubur atau dikremasi. Ada kuburuan yang bisa dikunjungi, bila ingin mengenangnya. Tapi jika orang itu sengaja dihilangkan dan kita tak pernah tahu dimana ia berada, maka itu sangat menyakitkan. Selalu berharap bahwa suatu saat orang yang kita sayangi akan kembali. Namun, sering harapan tinggal harapan.
Kehilangan seseorang yang sangat dicintai, itulah yang dialami Carlos Rueda (diperankan Antonio Banderas), sutradara teater anak-anak. Ia harus kehilangan istri dan anak perempuannya. Carlos bukan satu-satunya orang yang kehilangan keluarganya. Sebelumnya, banyak keluarga yang kehilangan orang yang sangat berharga. Sayangnya, mereka tak pernah tahu dimana rimba mereka. Masih hidupkah atau sudah meninggal? Yang bisa mereka lakukan, yakni terus berharap dan melakukan aksi di jalanan agar suara mereka di dengar oleh negara. Tetapi apa daya, negara tak pernah mau mendengar jeritan pedih mereka. Negara mengabaikannya dan menganggap itu tak pernah terjadi. Atau, karena negara sendiri pelakunya, sehingga melepaskan tanggungjawabnya.
imagining1Imagining Argentina, sebuah film karya Christopher Hamton, melukiskan apa yang terjadi di negara Argentina masa kekuasaanjunta militer. Film yang diproduksi tahun 2003 ini diadaptasi dari novel karya Lawrance Thomton. Film ini bercerita tentang pengalaman sebuah keluarga menghadapi terorisme negara pada waktu itu. Pada tahun 1976-1983, rakyat Argentina mengalami “Perang Kotor” (Guerra Sucia) selama pemerintahan diktator militer Jenderal Jorge Rafael Videla, berkuasa. Perang ini bagian dari “Operasi Kondor” (Operación Cóndor); suatu operasi intelijen dan pembunuhan, yang didukung Amerika Serikat untuk menghabisi “gerakan kiri” di negeri-negeri Amerika Latin, seperti Bolivia, Brazilia, Chile, Uruguay dan Paraguay.
Argentina telah melewati pola kekuasaan represif selama bertahun-tahun. Pada masa itu, satuan-satuan militer dan kepolisian secara khusus telah menghabisi orang-orang yang dianggap “sosialis/komunis”. Mereka yang tak setuju dengan kebijakan pemerintah dan mengkritisinya akan dihilangkan secara paksa. Penculikan demi penculikan dialami mereka yang lantang, yang menentang negara. Mereka tidak hanya diculik, tetapi juga disiksa, diperkosa dan dibunuh secara massal. Jumlah korban diperkirakan antara 9000-30.000 orang. Komisi Nasional untuk Penghilangan Orang (CONADEP) yang dibentuk setelah junta militer terguling pada tahun 1983 memperkirakan sekitar 13.000 orang diculik dan tidak ketahuan rimbanya. Namun bagi para jenderal, jumlah orang yang hilang bukan suatu tragedi kemanusiaan, melainkan persoalan statistik belaka!
Imagining Argentina mengisahkan keluarga Carlos Rueda yang awalnya tidak terlibat dalam kegiatan politik. Namun Cecilia Rueda (diperankan Emma Thomson), sang istri, yang berkerja sebagai jurnalis mulai terusik kesadarannya ketika mendengar berita hilangnya anak-anak yang memprotes mahalnya tarif bis kota. Cecilia pun kemudian menulis artikel tentang anak-anak yang hilang, walaupun Carlos tidak setuju dengan apa yang dilakukan istrinya, karena takut akan mendapatkan masalah.
imaginingargentina1Apa yang menjadi kekhawatiran Carlos akhirnya terjadi. Pada suatu hari ketika ia sedang berada dalam pertunjukan teater, segerombolan pria berbaju preman yang mengendarai sedan Ford Falcon berwarna biru mendatangi rumahnya dan menculik Cecilia. Saat itu ada seorang saksi mata, tetangga Carlos yang sedang memotong rumput di halaman rumah. Berbekal informasi tersebut, Carlos berusaha mencari keberadaan istrinya dengan mendatangi instansi demi instasi pemerintahan, hingga menemui jenderal yang dianggap paling berwenang dalam operasi tersebut. Namun apa daya, usaha Carlos tak membuahkan hasil.
Dalam proses pencarian tersebut, Carlos bertemu dengan ibu-ibu Plaza de Mayo yang melakukan aksi atas hilangnya anak-anak mereka. Pada saat itu, Carlos menyadari bahwa ia mempunyai kekuatan untuk menerawang nasib atau keadaan seseorang dari jarak jauh. Ia melihat apa yang terjadi pada Cecilia, gambaran tempat penyekapannya, dan mencoba melacak tempat-tempat tersebut berdasarkan penglihatannya. Demikian juga ketika bertemu dengan ibu-ibu Plaza de Mayo, ia dapat melihat apa yang terjadi pada anak-anak mereka hanya dengan menatapi foto-foto mereka atau menggenggam tangan ibu-ibu ini.
Dengan kekuatan itu, Carlos pun mengundang keluarga korban ke halaman rumahnya untuk mengadakan pertemuan rutin sambil melihat di mana keluarga mereka berada. Pertemuan tersebut dilakukan sebagai penghiburan atas rasa kehilangan mereka dan berbagi cerita. Satu demi satu mereka mendapatkan giliran untuk mendengarkan apa yang dilihat oleh Carlos.
images (6)Pertemuan rutin itu teryata disusupi oknum militer yang mengaku kehilangan saudara perempuannya. Namun atas kekuatan yang dimiliki Carlos, ia dapat membuka kebohongan oknum tersebut. Terbongkarnya kebohongan tersebut ternyata membawa penderitaan baru bagi Carlos. Anak perempuan satu-satunya menjadi korban penculikan selanjutnya. Berbekal kekuatan yang dimilikinya, Carlos terus berusaha mencari istri dan anaknya. Berbagai petunjuk ia peroleh, misalnya ketika suatu hari dia bertemu dengan ratusan burung ramah beraneka jenis yang menggiringnya ke tanah yang indah (Villa Esperanza atau Rumah Harapan) milik pasangan Yahudi korban “holokaus”, Amos dan Sara Sternberg. Atau, ketika ia bertemu dengan burung hantu yang memberi petunjuk di mana keberadaan istrinya.
Aroma magis sangat terasa dalam film ini. Seorang Carlos, dengan kekuatannya, dapat melihat peristiwa yang sedang dan akan terjadi, sehingga sulit bagi kita membedakan mana imajinasi dan mana kenyataan, mengingat ia juga seorang sutradara teater anak-anak. Film ini menampilkan adegan kekerasan demi kekerasan dengan sangat vulgar. Misalnya, ketika Cecelia atau anaknya diperkosa oleh aparat. Namun terlepas dari itu, apa yang dialami Cecelia dan anak perempuannya menjadi gambaran nyata, bahwa perempuan di wilayah konflik menjadi korban yang paling banyak. Mereka mengalami berbagai macam kekerasan. Seksualitas perempuan menjadi sasaran utama serangan militer.
Film ini pun menggambarkan fakta bahwa perempuan, didorong oleh emosi pribadi rasa kehilangannya, menjadi yang pertama membangunkan bangsa yang sedang tidur dan tak peduli. Perempuan–terutama the Madres, namun juga kelompok lainnya–hanya orang-orang yang mampu mengambil tanggungjawab, yang dapat bertindak dengan semua perhitungan akan resiko pribadi atau kelayakan politik. Adalah perempuan yang menegakkan prinsip “kehidupan” melawan pemerintahan yang memporak-porandakan nilai-nilai kehidupan manusia. Adalah perempuan yang membangkitkan masyarakat, yang telah bisu di dalam bayang-bayang horor.
The Madres, kelompok yang aslinya dibentuk 14 orang perempuan yang berumur 40 tahun dan 62 tahun, melintasi jalur aman dalam pencarian putra dan putri mereka yang tiada ujung rimbanya dan membuat mereka frustasi. Mereka memutuskan untuk membuat isu publik mengenai rasa sakit mereka, dan menuntut bahwa anak-anak yang dilenyapkan negara dikembalikan hidup-hidup oleh junta militer.
Peristiwa penghilangan paksa tak hanya terjadi di Argentina, di berbagai belahan bumi lainnya peristiwa pelanggaran HAM berat itu pernah terjadi dan memakan banyak korban. Berdasarkan data Amnesty International beberapa negara mengalami penghilangan paksa dan jumlah korbannya bervariasi, seperti di Chile jumlah korban 4.000 orang, di Colombia 13.000 orang, di Congo 55.000 orang, di Irak 90.000 orang, dan masih banyak lagi.
Di Indonesia, berdasarkan data Amnesty International ada 1.200 orang korban penghilangan paksa, sementara keluarga korban terus mencari keadilaan. Aksi “kamisan” yang dilakukan setiap hari kamis di depan Istana Merdeka menjadi salah satu upaya yang dilakukan para korban untuk menuntut tanggungjawab negara atas peristiwa masa lalu, yang tak pernah terungkap. Hingga kini belum ada tindakan yang signifikan oleh negara untuk mengungkapkan kasus tersebut.
Apa yang dialami oleh Genevieva Misiati Utomo (65) yang kehilangan anaknya yang bernama Petrus Bimo Anugrah, sejak tahun 1998 dan hingga kini, setelah 14 tahun berlalu, belum ada kejelasan. Berhari-hari, berminggu-minggu, hingga tahun berganti tahun, ia terus menjaga ruang tidur Bimo yang kosong, sambil penuh harap bahwa malam ini, esok atau suatu hari, ia akan kembali. Berbagai jalan terus ditempuh untuk mencari anaknya, namun tetap tiada menemukan hasil.
“Saya dan ibu-ibu lainnya yang juga kehilangan anak-anak masa-masa itu, memahami bahwa dibutuhkan waktu untuk melaksanakan rekomendasi DPR seluruhnya. Untuk itu, saya dengan rendah hati meminta Presiden SBY membuka hatinya dengan mengambil tindakan konkrit menemukan nasib dan keberadaan Bimo, anak saya dan 13 orang temannya yang masih hilang”, tulis Misiati Utomo dalam petisi yang ditujukan kepada presiden untuk mencari keberadaan anaknya.
Bukan hanya itu, hutang sejarah bangsa ini masih banyak yang belum diselesaikan. Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) atau sering disebut Peristiwa 65, yang kerap dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), hingga kini korbannya masih tetap mencari keadilan. Padahal dalam peristiwa tersebut, diperkirakan 500.000 sampai 3.000.000 orang tak bersalah menjadi korban pembantaian massal. Peristiwa 65 bukan satu-satunya hutang sejarah yang belum diselesaikan negara. Peristiwa lainnya hingga kini belum jelas penyelesaiannya, seperti peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) tahun 1958, kasus Referendum di Timor Timur (1999), dan kasus Tanjung Priok (1984). Kemudian tercatat peristiwa penculikan aktivis mahasiswa (1998), kasus Poso (1998-2000), Ambon (1999), dan kasus Dayak-Madura (2000)

0 komentar:

Posting Komentar