23 Juli 2013

Tiga Pengawal Presiden dari Indonesia

Saya dan Rikard Bagun dari Kompas baru mendarat dari Sao Paulo, Brazil, dan langsung menuju rumah presiden Fernando Lugo di Asuncion, ibu kota Paraguay. Menyaksikan rumahnya yang sederhana, tak ayal membuat saya tertegun. Saat itu Lugo belum ada di rumah meskipun waktu itu kami janji bertemu untuk makan malam. Dia rupanya masih belum pulang dari pertemuannya dengan Joseph Stiglitz, pemenang Nobel Ekonomi, yang dia jadikan salah satu penasehat ekonominya.

Kesempatan luang yang ada kami gunakan untuk melihat ’isi’ rumah dengan dibimbing oleh teman kami asal Indonesia, Martin Bhisu. Tak ada satu pun bingkisan atau karangan bunga ucapan ’selamat’ di rumah yang sebentar lagi penghuninya akan dilantik sebagai presiden ini. Hanya ada para tentara berjaga di depan rumah dan ada satu surat ucapan selamat dan solidaritas untuk presiden terpilih Paraguay, yang saya bawa di tas sebagai titipan dari pimpinan partai saya di Indonesia. Sepiring singkong rebus dan sepotong ikan bakar terhidang di meja. Satu set TV lama berukuran 17 inch terletak di samping meja makan yang menyatu dengan ruang tamu bersofa lapuk. Kamarnya pun hanya berisi tempat tidur dengan satu meja baca sederhana.

Yang agak sedikit terlihat istimewa adalah di dinding kamar tidurnya terpampang foto Lugo berdampingan dengan sejumlah sahabat Sosialis-nya yang jadi presiden Amerika Latin. Terpampang sosok Lula da Silva, seorang buruh dan bekas tukang semir sepatu (anak pembantu rumah tangga) yang jadi presiden Brazil; Evo Morales yang seorang petani dan sekarang menjadi presiden Bolivia; Cristina Fernandez de Kircner yang mantan aktivis mahasiswa buronan rejim militer dan sekarang jadi presiden Argentina; Hugo Chavez yang mantan tentara pemberontak dari Venezuela; Presiden Rafael Correa yang Doktor Ekonomi dari Ekuador; Daniel Ortega sang mantan gerilyawan dan sekarang presiden Nikaragua; Michele Bachelet yang mantan tahanan politik dan sekarang presiden Chile ; dokter yang mantan aktivis, Tabare Vasquez, sebagai presiden Uruguay dan sebagainya.

Tak ada saya lihat sosok pesohor dan pelagak yang jadi presiden di foto itu. Di foto itu tercantum kata-kata novelis Paulo Coelho dalam bahasa Spanyol yang kira-kira artinya adalah: ’Dunia kita berada dalam genggaman tangan mereka yang punya keberanian untuk bermimpi dan berlari tanpa takut akan resiko hidup.’

Jam sudah ke angka 23.30 malam. Kami bertiga waktu itu baru saja menyelesaikan makan malam sederhana yang disiapkan Dona Lucrecia yang mengepalai rumah tersebut. Malam dingin di jantung Amerika Latin ini pun jadi hangat dengan keramahan Lucrecia dan panasnya yerba mate yang kami minum bergiliran. Siapa menyangka Lucrecia yang biarawati ini adalah tangan kanan Lugo dalam memimpin aksi-aksi petani selama tujuh tahun. Segera saja saya dihampiri kenangan bunyi harpa (instrumen khas setempat) dari lagu yang saya sukai saat SMA, ’Canta Paraguayo’ dari kelompok Los Diablos del Paraguay. Saya tengah terpesona dengan kebersahajaan ini.

Kami tengah mendiskusikan kembali sejumlah pertanyaan wawancara dengan Martin Bhisu ketika terdengar suara iring-iringan mobil mendekati rumah Fernando Lugo di daerah Lambare, pinggiran kota Asuncion ini. Begitu datang dan menyalami kami bertiga, Lugo lantas mengajak Martin ke kamarnya. Tak berapa lama, presiden Lugo dan Martin keluar tergesa dari kamarnya, dan meminta kami semua untuk cepat-cepat meninggalkan rumah. Ketika para pengawalnya mendesak untuk menemani, dia menolak.

Lugo hanya bicara pada Martin: ’Martin sahabatku, hari ini air sudah sampai leher. Bawa saya ke rumah kita’. Rupanya Lugo menerima laporan bahwa ada ancaman pembunuhan terhadap dirinya. Tidak jelas dari siapa, namun kami hanya bisa menduga-duga mengenai pihak mana yang tak menginginkan Lugo membawa perubahan di Paraguay.
Kami diberitahu oleh Martin bahwa ancaman mati ini bukan hanya sekali diterima Lugo dari pihak-pihak yang merasa terganggu oleh gerakannya. Selama menjadi uskup dia sering membela petani melawan para tuan tanah untuk menuntut landreform, dan juga melawan majikan-majikan multinasional dengan kampanye lingkungan hidup berupa penolakan penggunaan pestisida, pada tahun 2003 sampai 2005.

Akhirnya, saat itu juga presiden terpilih Republik Paraguay, Fernando Lugo, kami larikan dengan mobil pick up bak terbuka, menembus kegelapan malam Asuncion. Kepergian Lugo ini hanya ditemani oleh tiga ’pengawal’ Indonesia-nya yang paham betul dengan getir bahwa dalam jam-jam berikutnya, masa depan politik Paraguay (dan konstelasi Amerika Latin) ada di tangan tiga orang Indonesia yang ’menyedihkan’ ini.

Ditulis Oleh Budiman Sudjatmiko

0 komentar:

Posting Komentar