2 Oktober 2011

Belajar Berpikir Logis dari Onghokham


Bagi Onghokham, sejarah adalah cerita tentang manusia. Meski penuturan bisa disampaikan melalui teknik mendongeng, sejarah tetap harus disampaikan secara logis.
Dinny Mutiah
NAMA Onghokham tentu sudah tidak asing lagi bagi kalangan sejarawan di Tanah Air. Berdasarkan sebagian besar aktivitasnya, dia adalah seorang sejarawan yang pernah mengabdi di Universitas Indonesia selama beberapa waktu. Dia dikenal killeroleh sebagian mahasiswa yang ogah-ogahan menekuni sejarah. Meski begitu, ia punya prinsip kuat terhadap nilai-nilai kebebasan dan kemerdekaan (masyarakat).

Tokoh yang boleh dibilang hidup di empat zaman sejarah bangsa Indonesia itu, yakni era kolonial, Orde Lama, era Orde Baru, dan pernah mencicip era reformasi, melalui penanya, begitu tajam mengkritisi kejanggalan dan ketidaklogisan perjalanan dan penggunaan kekuasaan elite-elite politik di negeri ini.
“Rasanya sudah tidak ada lagi bahan yang saya tulis,” ujar Ong setelah beberapa bulan era Reformasi bergulir menumbangkan Orde Baru. Memang, banyak orang yang merasakan tulisan sejarawan yang meninggal di Jakarta pada 30 Agustus 2007 tersebut kurang tajam lagi di era reformasi. Mungkin keadaannya akan lain bila Ong masih hidup saat ini dan melihat kondisi bangsanya yang karut-marut dipenuhi oleh intrik kekuasaan dan korupsi.
Dari sinilah Andi Achdian menuturkan pemikiran-pemikiran Onghokham lewat sudut pandang orang pertama, dalam bukunya yang diberi judul Sang Guru dan Secangkir Kopi, terbitan Kekal Press, April 2011. Penceritaan buku yang mungkin bisa disebut semibiografi ini didasarkan apa yang penulis tangkap semasa Ong masih hidup. Relasi penulis dan tokoh yang ia sebut guru itu dimulai tak sengaja. Mungkin juga sebuah kebetulan Andi yang memang mahasiswa UI?meski secara formal tidak pernah mendapatkan pendidikan formal dari Ong–tinggal bertetangga dengan tokoh yang kemudian dikaguminya itu.
Kehidupan sehari-hari mereka, kala bertemu, sering kali diisi oleh diskusi-diskusi informal seputar apa pun, termasuk kegemaran mereka tentang buku sejarah yang ditulis oleh Soboul dan Lefebvre.
Sejak itu, pertemuan demi pertemuan informal terus berlangsung. Tidak jarang saat bertemu, Ong secara tak langsung menantang Andi untuk berpendapat. Pendapat yang dihasilkan lalu diperdebatkan lagi berdasarkan pengetahuan yang mereka dapatkan.
Jika pengajaran sejarah biasanya terkesan hanya pendogmaan lewat pengutipan dari para sejarawan, Ong mengajarkan bahwa ada sesuatu di balik sejarah yang perlu dikaji lebih dalam.
Dalam salah satu pembicaraan santai itu, Ong menceritakan awal mula ekspansi pelaut dari Barat ke Nusantara. Ia bercerita bahwa alasan utama bangsa Eropa menjelajah Asia ialah rasa takut pada istri.
Lho! ‘Anda mungkin familier jika rasa masakan Barat umumnya hambar. Suatu saat, para istri tak sengaja membubuhkan lada di atas makanan dan saat mencicip, rasa makanan berubah enak. Para istri pun terpikir untuk mengumpulkan lada lebih banyak dengan meminta suami mereka mencarikannya untuk mereka. Itulah yang kemudian mendorong terjadinya kolonialisme Eropa di tanah Asia, termasuk Indonesia’, pada suatu kutipan dalam buku ini.
Meski terdengar konyol, cara pandang Ong yang tak biasa itu membekas dalam ingatan Andi. Gaya berpikir Ong tak lepas dari sikap kritis, mendalam, dan jernih dalam menelaah peristiwa sejarah. Tentu saja juga unik, tidak umum, tapi logis.
Sikap Ong itu mungkin saja karena latar belakangnya yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga keturunan Tionghoa kelas menengah, hingga akhirnya tentara Jepang masuk ke Indonesia sampai muncul penderitaan saat harus mengungsi ke tempat yang dirasa lebih aman.
Rasa tak nyaman yang dialaminya saat peperangan membuat Ong punya pemahaman lebih baik daripada sejarawan yang hanya berkesempatan menelusuri peristiwa lewat kisah orang lain. Tak ragu, ia mengatakan bahwa Indonesia adalah pembebasan masyarakat yang majemuk untuk hidup atas dasar kesetaraan. Pernyataan itu secara tak langsung wujud menyatakan diri sebagai nasionalis.
Walaupun demikian, itu tak menghentikannya untuk bersikap kritis terhadap penguasa yang dianggap lalai dalam melayani rakyat. Kritikan yang disampaikan Ong lewat berbagai media massa terasa menukik meski membutuhkan editor untuk memperbaiki tata bahasanya yang berantakan.
Paradoks
Mengupas tokoh Onghokham menjadi menarik karena gaya Andi dalam penulisannya berbeda dari kebiasaan penyampaian pelajaran sejarah di kelas-kelas. Tapi, pribadi Ong sendiri juga digambarkan sebagai orang yang istimewa.
Saat Obrolan Pembaca Media Indonesia yang didukung TMBookstore digelar Sabtu (17/9) lalu, Aldo, salah satu pembaca, menilai sosok ‘sang Guru’ adalah paradoks. Ada hal yang kontradiktif dari penampilan Ong karena ia selalu mengkritisi dari sudut pandang rakyat kecil, sementara ia sendiri tetap menyukai hal yang berbau kemewahan.
Salah satu gaya hidup mewah yang diceritakan Andi ialah kesukaan Ong meminum anggur saat makan malam, dihiasi perangkat makan yang terbuat dari perak bermutu.
“Dia suka hidup enak, makan enak, minum wine. Tapi, dari karya yang ditulisnya terkesan bahwa dia adalah orang kiri, meski dia tak pernah menyatakannya. Itu paradoks. Tapi, mungkin itu pula yang membuat Ong bisa diterima berbagai lapisan,” ujar Aldo.
Pembaca lainnya, Helvry Sinaga, menilai sosok Ong berdasarkan kacamata Andi membuat sejarah menjadi lebih berarti. Cara ia menantang Andi untuk berpikir logis menunjukkan bahwa sejarah yang berlalu bisa menjadi pelajaran dan prediksi kejadian yang akan datang. Apalagi, Ong dikenal punya pengetahuan luas dengan koleksi literatur yang lengkap di perpustakaan pribadinya.
“Kalau biasanya kita menerima sejarah itu hanya sebagai keadaan masa lalu begitu saja, tanpa kita lihat lagi, kok begitu, ya? Tapi, kalau di buku ini, yang mencuat adalah kita dibiasakan untuk berpikir logis. Tak mengherankan, dia bisa menduga hal-hal yang akan muncul. Jadi, ada semacam aksi-reaksi dalam sejarah,” cetus Helvry.
Truly, pembaca OPMI lainnya, menimpali. Ia berpendapat cara pengajaran yang dilakukan Ong terhadap Andi secara tak langsung mengubah cara murid memandang sejarah. Biasanya sejarah itu hanya berkutat soal tanggal, padahal penggalian soal latar belakang kejadian bisa membuat hafalan murid lebih kuat.
Sementara bagi Riezky, sosok Ong merupakan contoh guru yang bisa mendorong muridnya berpendapat. Pendapat itulah yang bisa membuat murid punya pemikiran lebih kritis. Tidak hanya menerima pendapat dari orang lain mentah-mentah. Apalagi, cara bertutur Andi yang sekilas seperti buku harian membuat cerita Ong lebih mudah diikuti oleh orang awam sekalipun.
“Story itu sangat terasa. Tidak hanya runutan tahun, tanggal kejadian. Contohnya, ketika peristiwa tahun 1965. Itu dibahas lebih panjang karena itu sejarah yang gelap banget. Wah, ternyata ada sudut pandang lain. Dia cukup berani kasih sudut pandang,” tukasnya.

0 komentar:

Posting Komentar