Oleh: Hen Eska
Jangan hitung umur kita sampai detik ini. Karena banyak orang terlahir berbeda waktu, tempat, tanggal dan tahunnya. Bisa jadi tambah rumit kalau kita juga bertanya tentang lahir sebagai anak siapa, suku apa, agama apa, status sosialnya bagaimana, dan banyak hal yang bisa kita buat sedetil, juga serumit mungkin.
Ini hari ke 17 bulan Agustus penanggalan masehi. Satu tanggal yang ditulis dengan tinta merah di semua almanak nasional. Pertanda 'libur' untuk penghormatan. Warga republik tentu wajib menghormatinya. 17 Agustus itu hari lahirnya Indonesia. Dari kelahirannya, sampai diujung hari ini; ia dipuja sebagai buah kulminasi. Titik dimana kita layak bangga sebagai rakyat, senang sebagai bangsa. Seperti bangsa-bangsa yang lain.
Sekarang lihat bagaimana negeri ini melakukan hari miladnya. Yang lajim: upacara bendera. Seperti ritual yang sakral, hingga mesti ditaati oleh semua penyelenggara negara, anak-anak sekolah, organisasi-organisasi, dan kelompok-kelompok masyarakat yang ada.
Saya saja punya kenangan yang 'terlalu manis untuk dilupakan' soal upacara. Maklum, saat SD dulu termasuk maniak dengan kegiatan upacara. Senangnya bukan main kalau sudah menjadi juru pegang bendera kala upacara-upacara wajib di sekolah. Saya berposisi ditengah. Diantara dua kawan perempuan saya yang cantik-cantik.Sangat cantik kalau sudah berseragam pengibar bendera. Wow keren dan amat menyanjungkan.
Jadi kemerdekaan kita sudah menghasilkan pemerintahan yang silih berganti. Artinya nasib rakyat sebenarnya juga harus berganti terus menerus dari yang sengsara menjadi lebih berdaya, dari yang berkekurangan menjadi berkecukupan. Seterusnya begitu. Jika hari ini pemerintah masih menghadapi nasib rakyat yang belum juga berubah: berarti kita cukup puas dengan melakukan rasa syukur itu sebatas upacara bendera. Jadi Indonesia (selama) 66 tahun hanya bisa upacara, apa kata dunia?
0 komentar:
Posting Komentar