8 Juli 2011

Pancasila: Mitos di Era Liberal?

Bung Karno dan Pak Harto, suka atau tidak, dua pemimpin itulah yang mempunyai komitmen tinggi terhadap pengejawantahan Pancasila. Bung Karno berusaha memudahkan pemahaman rakyat dengan memeras Pancasila menjadi Trisila dan kemudian Ekasila, yaitu Gotong Royong. Pak Harto melakukan indoktrinasi, pencetakan buku-buku, penataran dan penyuluhan kader P4.

Pancasila dalam perjalanan sejarahnya merupakan entitas yang dinamis, pernah mengalami pasang surut pula. Adakalanya berkembang bahkan mengalami kemandekan karena tafsir tunggal penguasa. Setiap zaman dalam pergantian rezim, Pancasila selalu mendapat tafsiran dan makna yang berbeda. Lantas bagaimana tafsir dan makna Pancasila di era keterbukaan dan liberal saat ini? 


Reformasi 1998 harus diakui mengubah banyak hal, terutama tatanan pemerintahan. Mengubah tatanan bernegara yang pada gilirannya juga mengubah tatanan kita dalam berbangsa. Celakanya perubahan demi perubahan tersebut bukan melulu mengarah pada hal positif, namun sering kali berdasar pada dorongan sesaat sehingga tidak jarang berdampak negatif. Hal itu karena tidak adanya alur yang jelas dan tegas bertolak dari reformasi yang dikehendaki segenap anak bangsa.

Konstitusi mendasar kita UUD 1945 bisa menjadi contoh. Dalam waktu singkat, beberapa tahun sejak reformasi sudah mengalami empat kali amendemen. Secara sambil lalu juga membuang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang berfungsi sebagai arah bagi negara dan pemerintah dalam membuat dan melaksanakan program kerjanya. Seiring berjalannya waktu Pancasila pun mulai meredup terpinggirkan oleh hiruk pikuk semangat reformasi.

Pengalaman Berpancasila
Pada awal kelahirannya, Pancasila tidak lebih sebagai suatu kontrak sosial. Hal tersebut ditunjukkan oleh sengitnya perdebatan dan negosiasi di tubuh BPUPKI dan PPKI ketika menyepakati dasar negara yang kelak digunakan Indonesia merdeka. Awal dekade 1950-an baru mulai muncul inisiatif yang menghendaki untuk melakukan interpetasi ulang terhadap Pancasila.

Pancasila bukan lagi sekadar kompromi politik, melainkan sebuah pandangan hidup (weltanschauung) bangsa. Pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 menjadi inspirasi utama untuk menafsirkan Pancasila dalam posisi sangat mendasar tersebut. Beberapa tokoh termasuk Muhammad Yamin berada dalam barisan ini. 

Masa Demokrasi Terpimpin, Soekarno menafsirkan Pancasila sebagai satu-satunya alat pemersatu bangsa. Weltanschauung bangsa yang dapat menjadi resep ampuh untuk mengatasi beragam masalah kebangsaan dan kenegaraan. Hal itu jelas menunjukkan keinginan Soekarno untuk meletakkan Pancasila sebagai sebuah ideologi yang konklusif. Sosialisasi seperti itu menjadi pembuka penting bagi upaya selanjutnya; Pancasila sebagai sebuah “ideologi negara” yang tampil hegemonik.

Upaya Soekarno menjadikan Manipol/USDEK sebagai tafsir resmi menandai perubahan penting Pancasila menjadi “ideologi negara” yang bersifat resmi dan tunggal. Pancasila di dalam tafsir Manipol/USDEK bersifat resmi, tunggal, dan hegemonik. Seluruh kekuatan masyarakat dikerahkan hanya untuk mengenal dan “mengamalkan” pengertian resmi itu sambil menolak segala paham yang tidak bersesuaian dengannya. 

Kecenderungan untuk menempatkan Pancasila sebagai “ideologi negara” kembali terulang pada masa Orde Baru. Cikal bakalnya sudah tertanam sejak Demokrasi Terpimpin. Tokoh-tokoh antikomunis saat itu tidak menemukan konsep ideologi yang dapat mempersatukan seluruh kekuatan antikomunis kecuali Pancasila. Masalahnya, wacana Pancasila masa Demokrasi Terpimpin didominasi tafsir Soekarno, sedangkan mereka tidak menyetujuinya. Maka satu-satunya jalan yang paling mungkin dilakukan adalah mendelegitimasi seluruh tafsir Pancasila versi Soekarno dan PKI.

Belakangan Orde Baru menjawab tafsir Pancasila dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang diindoktrinasikan kepada seluruh lapisan masyarakat. Orde Baru kemudian bergerak lebih jauh dengan mewajibkan seluruh elemen masyarakat menggunakan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan sosial politik kemasyarakatan. Di sini, Pancasila telah berubah menjadi ideologi negara yang komprehensif dan memonopoli kebenaran. Tidak memberi tempat bagi ideologi-ideologi lainnya. Tafsir semacam itu diyakini Orde Baru sebagai bentuk yang paling benar sesuai jargon, “melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.” 

Mitos Pancasila?
Euforia reformasi sedikitnya ditandai oleh meledaknya syahwat politik yang tak terbendung lagi. Puluhan partai politik turut berkompetisi dalam pemilu pertama pascareformasi. Tumbangnya “raja Jawa” yang paling berkuasa nyatanya menghasilkan raja-raja kecil yang saling berebut kekuasaan. 

Ekonomi yang amburadul juga turut mempersubur tumbuhnya konglomerasi hasil dari korupsi dan penjarahan kekayaan negara. Tidak mengherankan jika hari ini masyarakat secara sinis menyebut negeri ini sebagai negeri kleptokrasi. Negeri yang dipimpin oleh para pencuri. Reformasi pun seakan jadi mitos dalam benak anak bangsa.

Bedanya jika di masa Orde Baru tidak semua masyarakat bisa berkesempatan melakukan karena dominasi penguasa yang otoriter, kini kesempatan itu semakin terbuka lebar bagi siapa pun karena hilangnya si penguasa otoriter. Tidak heran jika banyak oknum dari berbagai partai politik secara beruntun terjerat kasus korupsi karena semuanya berlomba dan mempunyai kesempatan yang sama. Dilakukan secara massal maupun individual, kongkalikong dengan pengusaha, dengan berbagai bentuk dan di berbagai bidang tidak terkecuali pendidikan.

Kini Indonesia dihadapkan pada era liberal yang begitu masif masuk di berbagai bidang. Hal itu jelas menjadi gedoran tersendiri bagi pilar-pilar bangsa dan negara. Sekali lagi Pancasila dan UUD 1945 kembali dipertanyakan. Sementara itu, pemerintahan SBY hingga dua periode ini masih menyisakan setumpuk persoalan yang belum terselesaikan. Bahkan masih saja berkutat pada pencitraan belaka.

Bencana alam, pengangguran dan kemiskinan, jaminan kesehatan serta sederet persoalan lainnya menuntut penyelesaian dengan tepat dan cepat. Celakanya sebagian besar saham pengelolaan kekayaan alam pun dimiliki orang asing. Akhirnya, merekalah yang berhak mengatur dan menikmati sebagian besar alam kita. 

Setidaknya timbul pertanyaan, apakah kembali munculnya Pancasila ramai dibicarakan bersama tiga pilar lainnya UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika untuk menjawab era liberal sekarang ini? Kiranya masih banyak pertanyaan yang harus dibuktikan oleh pemerintahan SBY. 

Iktikad baik MPR dalam mewacanakan kembali penguatan empat pilar bangsa tersebut sudah seharusnya direspons secara serius sebagai tugas besar bersama-sama pemerintah dan semua pihak. Pasalnya, dalam rentang sejarahnya Pancasila belum mampu berkembang menjadi “ideologi ilmiah” atau apa pun yang dapat dipertandingkan dengan ideologi-ideologi besar.

Munculnya kembali semangat untuk membincangkan kembali Pancasila di era keterbukaan ini merupakan hal yang penting. Seakan menemukan momentumnya, di tengah ramainya membincangkan Pancasila secara bersamaan sandiwara para elite mulai terkuak. Korupsi, mafia hukum serta kebobrokan lainnya diam-diam juga dilakukan beramai-ramai oleh elite negeri ini. 

Celakanya partai penguasa beserta pemimpinnya yang sangat mengedepankan politik pencitraan nyatanya semakin kedodoran ketika kasus serupa di tubuhnya mulai terkuak. Akibatnya para elite pada dasarnya semakin disibukkan oleh saling sandera kepentingan serta kompromi untuk mengamankan kekuasaan masing-masing. Bukan mengada-ada, karena pada dasarnya mereka sedang mempersiapkan segala sesuatunya menuju pesta besar Pemilu 2014.

Bagaimana nasib Pancasila? Apakah terhenti hanya sebatas slogan yang ikut meramaikan era pasar bebas, menjadi mitos sumber segala gagasan, mitos pemersatu bangsa, mitos sumber dari segala sumber hukum serta mitos penjamin kesentosaan dan kesejahteraan dengan metode penghayatan? Bukankah sedari dulu kehidupan bangsa ini dipenuhi dengan mitos?

*Penulis adalah Anggota Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) dan Peneliti pada Infest for Culture and Education Yogyakarta.
Sumber:http://www.sinarharapan.co.id/content/read/pancasila-mitos-di-era-liberal/

0 komentar:

Posting Komentar