1 Februari 2011

Kaum Muslim, Tunisia, dan Paradoks Demokrasi

Sungguh dramatis! Kejatuhan pemimpin tangan besi yang berkuasa sangat lama, Zine al-Abidine Ben Ali, malah memicu kecemasan dibandingkan antusiasme para pemimpin dunia.
Di seluruh dunia, banyak pemimpin menganggap Ben Ali sebagai benteng utama melawan kaum Islam ekstrem. Ben Ali seperti halnya para otokrat di negara-negara Muslim, merasa bangga dalam menggulirkan klaim bahwa kaum fanatik agama hanyalah alternatif bagi pemerintahan dirinya ataupun rakyatnya.
Apabila kaum fanatik ini dipercaya untuk mengontrol negara, mereka hanya akan mengganggu pekerjaan yang selama ini sudah tertata, yakni administrasi sekuler.

Klaim dari para otokrat dan kelemahan dari dukungan Barat terhadap proses demokrasi di negeri Muslim berbasis pada sepasang asumsi. Pertama bahwa kaum Muslim cenderung untuk menyatukan otoritas agama dengan politik.
Berangkat dari logika tersebut, apabila kalangan Muslim (baca konservatif) mendapatkan ruang untuk mengontrol takdir politik mereka melalui kotak suara, mayoritas suara akan mendukung para kandidat yang menolak pluralisme. Selanjutnya, mereka akan mengajukan berbagai bentuk aturan eksklusif yang berdasarkan atas kebenaran absolut agama mereka.
Asumsi kedua adalah kaum Muslim cenderung pada politik kekerasan massa. Oleh karena itu, tangan besi dibutuhkan untuk menjaga agar tidak terjadi kerusuhan berdarah.
Paradoks demokrasi
Asumsi-asumsi di atas menciptakan ekspektasi tentang ”paradoks demokrasi”, yaitu ketika demokrasi justru akan menghancurkan fondasi dasar demokrasi. Rakyat yang menggunakan kebebasannya bisa menjadi sumber untuk menghancurkan kebebasan politik dan perdamaian sipil.
Jika kaum Muslim cenderung menyatukan antara negara dan otoritas politik serta secara khusus tertarik untuk terlibat dalam politik kekerasan berskala besar, tentu saja kita akan memprediksikan bahwa mereka akan memilih memperjuangkan surga di atas bumi dan membangkitkan neraka di jalan-jalan. Kita memiliki alasan yang kuat untuk menerka bahaya paradoks demokrasi yang parah, terutama di kalangan masyarakat Muslim.
Namun, apakah pemikiran seperti ini dilandasi oleh fakta yang kuat? Saya akan menguraikan studi statistik mutakhir yang menunjukkan keraguan terhadap asumsi yang mendukung paradoks demokrasi ini.
Untuk menjelaskan apakah masyarakat Muslim mendukung gagasan kesatuan antara agama dan otoritas politisi, saya melakukan analisis berdasarkan indikator dari World Values Survey yang memiliki sumber data dunia paling komprehensif terkait perilaku masyarakat.
Beberapa pertanyaan memperlihatkan opini tentang hubungan antara agama dan politik. Saya menggunakan data individu-level dari 72 negara dengan menggunakan sampel 90.000 orang. Lebih kurang 20.000 responden adalah Muslim, sementara 49.000 lainnya Kristen.
Negara-negara dengan penduduk mayoritas Muslim di seluruh dunia, termasuk Indonesia, Pakistan, Banglades, Mesir, Turki, dan Iran, seperti halnya negara-negara dengan penduduk mayoritas Kristen, termasuk Amerika Serikat, Brasil, Rusia, Meksiko, Filipina, Afrika Selatan, dan negara besar di Eropa lainnya, terhimpun dalam studi ini.
Satu pernyataan di dalamnya adalah apakah para responden sepakat dengan pernyataan bahwa ”para pemimpin agama harus tidak memengaruhi bagaimana rakyat memilih”? Hasilnya 66 persen responden Muslim berbanding 71 persen responden Kristen setuju dengan pernyataan di atas. Pertanyaan kedua terkait tentang apakah ”pemimpin agama tidak harus memengaruhi pemerintahan”? Hasilnya ternyata identik. Sekali lagi, hanya sedikit perbedaan antara masyarakat Kristen dan Muslim.
Jika kaum Muslim mendukung penghapusan perbedaan antara kekuasaan sakral dan duniawi, kita akan menduga mereka akan mendorong keterlibatan pemimpin agama dalam kehidupan politik. Meski demikian, data yang ada tak menunjukkan tendensi tersebut.
Kekerasan politik
Marilah sekarang menguji, apakah masyarakat Muslim secara tak lazim cenderung pada kekerasan politik massa sehingga dengan demikian membutuhkan pemimpin bertangan besi? Argumen ini tampak jelas dalam karya Samuel Huntington yang sangat berpengaruh, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order.
Untuk menguji hipotesis di atas, saya memeriksa frekuensi dan intensitas dari kekerasan politik massa di dalam negara sepanjang 1946-2007. Di seluruh dunia terjadi 235 episode yang masing-masing menciptakan lebih dari 500 korban manusia. Jumlah korban dalam seluruh episode secara total berjumlah 21 juta jiwa.
Ternyata bukan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim yang berada pada wilayah episode kematian yang tidak wajar dan bukan pula negara-negara itu penyebab jumlah kematian yang besar. Di 43 negara dengan mayoritas penduduk Muslim hanya 0,65 persen dari rata-rata populasi meninggal pada episode-episode utama kekerasan politik negara. Di 128 negara bukan berpenduduk mayoritas Muslim, 0,72 persen penduduk tewas pada episode-episode kekerasan tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan, tidak ada korelasi antara persentase populasi Muslim di negara dengan risiko kekerasan politik massa dan kematian sebagai dampaknya.
Jika kalangan Muslim tak berusaha mengombinasikan antara agama dan otoritas politik dan tidak pula bertendensi pada kekerasan politik dalam skala besar, logika tentang keunikan paradoks demokrasi Muslim sebenarnya hanyalah ilusi.
Oleh karena itu, kita tidak boleh bersikap naif akan prospek demokrasi di Tunisia atau di negara-negara di mana peristiwa seperti di Tunisia mungkin bergema. Rakyat Tunisia hanya menikmati sedikit pengalaman tentang pemerintahan yang otonom dan demokratis. Mereka berada pada kesunyian dan termanipulasi oleh kebijakan rezim Ben Ali selama seperempat abad. Demikian pula kita tidak harus takut dengan proses demokratisasi di Tunisia dan tetangganya atau menjadi sekutu dari despotik moderat (anti-Islamis) dan ikut menghambat upaya tersebut.
Asumsi tentang Islam yang cenderung pada kekerasan sebagai alternatif satu-satunya dari diktator anti-Islam telah diyakini para pengambil kebijakan di dunia Barat selama beberapa dekade. Hal itu mengarahkan mereka untuk tidak saja menjadi mitra dari Ben Ali, tetapi juga pemerintahan Saudi yang memberikan tempat bagi pengasingannya, rezim Hosni Mubarak di Mesir, Ali Abdullah Saleh di Yaman, monarki Jordania, serta rezim diktator militer di Pakistan Pervez Musharraf.
Teroris di negeri diktator
Penting untuk dicatat, sarang dari para teroris Islam dunia adalah di negeri-negeri para diktator tersebut. Sementara hanya sedikit sekali para teroris yang berasal dan berbasis di negara-negara Muslim demokratis, seperti Indonesia, Turki, dan negara-negara Afrika Barat, seperti Senegal dan Mali.
Adalah benar bahwa demokrasi bukanlah obat mujarab bagi persoalan terorisme, tetapi rezim-rezim yang menolak cara-cara damai dalam perubahan pemerintahan dan memberangus ekspresi politik antikekerasan lebih cenderung menciptakan teroris dibandingkan negara-negara yang berdemokrasi.
Hanya sangat sedikit sekali bukti bahwa di negeri Muslim— jika mereka memberdayakan pemerintahan mereka sendiri— akan memilih musuh dari pluralisme atau tak sabar untuk mendorong kekerasan politik massa. Demikian pula hanya ada sedikit bukti akan rezim-rezim demokratis, ketika mereka meraih kekuasaan di negara-negara Muslim, menciptakan lebih banyak lahan basah bagi tumbuhnya terorisme dibandingkan negara yang dipimpin para diktator.
Jatuhnya tirani di Tunisia mungkin tidak secara otomatis mengarah pada fase demokrasi, tetapi rakyat Tunisia memiliki kesempatan dan menyediakan ruang pertaruhan bagi kemungkinan proses demokrasi dan keamanan global dibandingkan apa yang telah dilakukan oleh para diktator pro-Barat.
Di ufuk drama politik yang terhampar di Tunisia dan negara- negara tetangganya, dunia memiliki harapan yang lebih baik dibandingkan skenario ketakutan.
 M Steven Fish Profesor Ilmu Politik di Universitas California-Berkeley dan Penulis Are Muslim Distinctive? A Look at the Evidence (Oxford University Press, 2011). Pada 2007 Menjadi Fulbright Fellow dan Profesor Tamu Ilmu Politik di Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar