11 Juni 2013

Rasuah PKS sebagai Partai Dakwah

Oleh: Jusuf Suroso*

PKS (Partai Keadilan Sejahtera), yang dikenal sebagai partai dakwah itu terus bebenah. Jumat, (24/5/13) pekan lalu pimpinan partai itu menggelar rapat konsolidasi nasional untuk menyelesaikan berbagai masalah yang tengah mendera partai itu termasuk masalah rasuah yang menyeret mantan Presiden PKS Ustad Haji Luthfi Hasan Ishaaq.

Para pimpinan PKS pun berkilah, Fathanah bukan kader PKS setelah aib Fathanah terbongkar. Mengamputasi Fathanah berikut hasil rasuahnya dari PKS sah-sah saja. Akan tetapi bagaimana ketika uang hasil rasuah dibungkus dengan infaq, sama saja dengan terima duitnya minus tanggungjawabnya. Munafik dan licik melengkapi perangai buruk politisi partai ini. Apa yang mereka lakukan memberi kesan seolah-olah bagian dari strategis dan politis, meski sesungguhnya amatiran.


Fathanah bekerja untuk PKS melalui kedekatannya dengan Ustaz Luthfi Hasan Ishaaq sejak tahun 2004 hingga ia di tangkap bersama seorang perempuan esek-esek, di kamar hotel Januari 2013 lalu. Ratusan milyar rupiah uang hasil rasuah mengalir via Fathanah ke pundi-pundi oknum pimpinan PKS dan puluhan wanita cantik melengkapi skandal yang melilit para ustad itu.

Belakangan muncul nama Yudi Setiawan kolega Fathanah, pengusaha asal Surabaya yang mengaku mengguyur milyaran rupiah ke petinggi PKS. Yudi yang kini menghuni ruang tahanan Teluk Dalam, Banjarmasin sejak Desember 2012 tersangka korupsi alat peraga pendidikan Dinas Pendidikan Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan dan tersangka pembobol Bank Jabar Banten (Bank Jabar Banten). Yudi Setiawan mengaku telah mengeluarkan uang Rp.16,585 miliar kepada Ustad Luthfi dan Presiden PKS Anis Matta.

Bahkan dari pengakuan Yudi pula terkuak rencana PKS untuk menghimpun dana hasil rasuah kadernya yang ada di tiga kementerian, Pertanian, Sosial dan Komunikasi dan Informasi dimana tiga kader PKS menjadi menterinya. Dari ketiga kementerian itu PKS menargetkan dana Rp.2 trilyun dengan rincian; Kementerian Pertanian Rp.1 trilyun, Kementerian Sosial dan Kementerian Komunikasi dan Informasi masing-masing Rp.0,5 trilyun yang akan digunakan untuk mendanai kegiatan PKS dalam pemilian umum 2014.

Yudi, seperti yang dijanjikan Anis Matta (saat itu Wakil Ketua DPR) maupun Ustad Luthfi Hasan Ishaaq (saat itu Presiden PKS) ketika bertemu di coffee shop Hotel Indonesia untuk mengerjakan berbagai proyek dari ketiga kementerian itu (Majalah Tempo, edisi 20-26 Mei 2013). Sebelumnya Yudi mengaku telah melakukan pertemuan dengan Ustad Luthfi dan Ahmad Fathanah di kantor PT. Cipta Inti Permindo, milik Yudi Jl.Cipaku 1 Nomor 14 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (12/7/12) terkait rencana penggalangan dana PKS tersebut.

Masih menurut pengakuan Yudi, sudah menggelontorkan uang untuk bermacam-macam keperluan. Mulai dari membayar tunjangan hari raya kader partai, membayar uang muka mobil mewah, membiayai pemilihan kepala daerah antara lain di Jawa Barat dan Sumatera Utara. Semua pengeluaran itu ada dalam buku catatan perusahaan Yudi disertai bukti transfer.

Wakil Ketua KPK Busyro Mukodas membenarkan penyidik KPK telah memeriksa Yudi, untuk menelusuri aliran dana terkait pencucian uang yang melibatkan Ahmad Fathanah, Ustad Luthfi Hasan Ishaaq, Anis Matta dan petinggi PKS lainnya. Dari pengakuan para pelaku tersebut makin terlihat dengan jelas tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang dilakukan Fathanah, Ustad Lufhti, bukan sekedar melibatkan oknum PKS, tetapi telah menyeret partai dakwah ini dalam kubangan rasuah. PKS sebagai institusi menjadi tempat berlindung pelaku kejahatan, menyembunyikan hasil kejahatan dan menggunakan uang hasil kejahatan tersebut.

Belajar dari kasus PKS maupun kasus Partai Demokrat, Partai Golkar dan mungkin partai lainnya, publik telah lama curiga terkait sistem pengelolaan keuangan utamanya sumber dana partai yang tidak transparan. Praktek kotor ini  bertentangan dengan jiwa dan semangat reformasi untuk memberantas KKN (Korupsi, Kolusi dan Nefotisme), menciptakan pemerintahan yang bersih dan berhasil melengserkan Presiden Soeharto, 23 Mei 1998.

Lantas bagaimana dengan partai politik era rezim reformasi yang kemudian berperangai buruk, menjadi tempat berlindungnya koruptor, dibiayai dari hasil kejahatan, bukan hanya mengancam demokrasi tetapi juga mengingkari jiwa dan semangat reformasi itu sendiri. Tugas KPK untuk membuktikan kejahatan luar biasa yang dilakukan para petinggi partai politik itu. KPK tidak boleh ragu-ragu untuk mengejar kemana saja aliran uang haram para petinggi partai itu. Ada indikasi kuat uang hasil kejahatan yang dibungkus infaq itu untuk membiayai berbagai kegiatan partai, pemenangan pemilihan kepala daerah (Bupati/Wali Kota dan Gubernur) anggota DPR dan pemilihan Presiden. Jika demikian, masih layakah partai politik seperti itu ikut pemilihan umum 2014 ? Mungkinkah partai politik seperti itu di bubarkan ?

* Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS)
Sumber: pedomannews.com

0 komentar:

Posting Komentar